Senja basah yang selalu menemani
moment-moment kebersamaan kami. Hah, suasana klasik yang selalu kurindukan,
yang berhasil mengantarkanku bertemu dengan pria ini. Pria pendiam yang mampu
membuatku jatuh kedalam pesonanya lagi dan lagi. Aku merasa terperosok jauh,
terlalu dalam pada pesona pria ini. Bahkan saat aku menyadarinya dan berusaha
menghindar darinya.
Disudut cafe yang dilatari
lembayung senja ini, aku kembali menatap wajah tampannya. Sudah setengah jam
kami duduk disini. Dalam diam, sunyi, senyap tanpa memulai pembicaraan
sedikitpun.
Ada sedikit gemuruh dalam dadaku
saat melihat kerut yang semakin dalam pada keningnya yang lebar. Ada apa dengan
priaku? Matanya terus bergerak-gerak gelisah. Oh ayolah, aku mulai...
“Ayo kita putus,”
Suara bass yang biasanya
terdengar mendayu di telingaku kini tak lebih dari sekedar nyanyian malaikat
pencabut nyawa. Aku mendongak. Mengerjap. Mencoba mencari pembenaran dimata
kelamnya. Mengapa ini terasa menyesakkan? Apa yang salah denganku? Apa aku masih
kurang baik untuknya? Cintaku? Apakah kurang besar?
Mataku memanas. Dadaku bergemuruh.
Jantungku memukul dadaku kencang, bertalu tanpa henti.
“Kita sudah tidak bisa meneruskan
semua ini. Sungguh, ini melelahkan,”
Apakah itu sebuah penyesalan?
Kenapa baru kau katakan sekarang? Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk
menjalani sebuah hubungan. Bahkan hatiku rasanya akan mati tanpa cintamu.
Bodoh! Air mataku mulai meluncur tanpa bisa kutahan lagi, sial.
“Kita menikah saja,” ucapnya diiringi
senyum lembut diakhir kata-katanya.
Apa ini? Aku masih bingung. Pria
ini? Apakah dia baru saja membodohiku?
“Aku melamarmu, sayang.”
Dia tersenyum lagi, mengacak
rambutku pelan. Aku semakin kencang menangis. Dia benar-benar membodohiku, tapi
aku menyukainya. Bodoh!
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar