Kamis, 23 Januari 2014

[REPOST] Unexpected Proposal



“Would you marry me?”
Pria dengan tatapan sendu itu tersenyum padaku. Manis. Sangat manis hingga aku tak mampu mengecap rasanya. Benarkah ini? Pria yang berada dihadapanku ini tengah berlutut melamarku. Apakah aku sedang
Byurr.
Dan seketika air bah menenggelamkan tubuhku dan bersamaan dengan itu, pria itu pun menghilang. Kini aku tengah terombang-ambing dalam ganasnya gelombang air yang tiba-tiba menerjangku. Oh sial! Aku lupa, aku tidak bisa berenang! Kurasa aku akan segera
“Bangun!!! Dasar gadis pemalas. Kau pikir sudah jam berapa sekarang, huh?”
Aish~ sial. Dan lagi baiklah ini suara ibuku tercinta, mengawali pagi dengan kebiasaan hebohnya.
“Mom, haruskah membangunkanku dengan cara sekejam ini?” gerutuku masih memejamkan mata sambil mengusap wajahku yang basah karna aksi sadisnya tadi.
Well, pagi yang sempurna. Bahkan Lee Dong Hae pun dengan kurang ajarnya menerobos kedalaman kerajaan ciptaanku sendiri. Sial.
***
Gaun putih, mawar putih, jas putih dan gedung dengan nuansa serba putih. Ah, dua orang itu tengah tersenyum manis memamerkan kebahagiaan. Ini adalah kali ketiga dalam dua bulan terakhir aku datang ke acara pernikahan orang-orang terdekatku. Tak masalah jika mereka mulai melangkah menggapai hidup baru mereka. Tapi aku mulai bosan ketika mereka mulai menanyakan kapan gilianku tiba.
“Kapan kau akan menyusul kami? Kau sudah cukup matang untuk membangun sebuah rumah tangga,”
Ah, pertanyaan klasik yang selalu berhasil membuatku mual setiap kali aku mendengarnya. Sebagai gadis normal, tentu saja aku juga menginginkan apa yang semua orang inginkan. Menikah, membangun sebuah keluarga. Tak masalah jika kau sudah memiliki calonmu. Tapi untuk orang senaif diriku, rasanya sulit sekali untuk dapat mempercayai perkataan seorang pria.
“Elina, maaf. Kita putus saja...”
Kalimat itu berhasil menjungkir-balikan hidupku yang tenang dalam sekejap mata. Bahkan pria ini sudah melamarku dua minggu yang lalu. Dan kenapa tiba-tiba dia seperti ini? Apakah dia tengah mengerjaiku? Ini tidak lucu sama sekali, sungguh!
“Kau bercanda, kan?” tanyaku memastikan.
Dan dia hanya menggeleng. Dua kali. Dan itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya. Airmataku tiba-tiba meleleh tanpa permisi. Aku hancur, benar-benar hancur. Apa yang akan kukatakan pada kedua orang tuaku?
***
“Seharusnya kau tahu, tidak semua pria sebrengsek Adrian. Dan kurasa dia tidak brengsek juga. Mungkin dia punya alasan lain kenapa memutuskanmu waktu itu. Dan kenyataan yang harus kau terima adalah bahwa seberapa keras kau mencoba untuk tetap menjalin hubungan dengannya, cepat atau lambat semua itu akan berakhir. Kalian tidak ditakdirkan untuk bersama. Itulah kenyataannya.”
Aku menoleh ke bangku sampingku sebentar, memiringkan kepalaku. Melihat siapa sosok yang dengan kurang ajarnya menganggu acara menyepiku disudut gedung ini. Mataku melebar sempurna melihat sesosok pria yang sudah lama sekali menghilang dari hidupku. Kevin. Sahabatku yang tiba-tiba menghilang tanpa bekas ketika mendengar aku resmi berpacaran dengan Adrian.
“Ck. Ternyata kau? Kukira kau tidak akan pernah muncul lagi dihadapanku setelah menghilang lima tahun yang lalu.” Sinisku padanya setelah berhasil mengatasi keterkejutanku. Dan dia hanya tersenyum miring. Aish~ anak ini!
“Anak nakal, kemana saja kau? Aku hampir gila mencarimu waktu itu, kau tahu?” tambahku mencubit lengannya gemas. Dan dia semakin tergelak. Dan aku benci, sungguh.
“Kau terlalu sibuk dengan pacar barumu dan seenaknya saja mengabaikanku. Jadi jangan salahkan aku jika tiba-tiba aku menghilang. Hahahaha!” kelakarnya.
“Aku merindukanmu. Sungguh,” ucapku kemudian dan memeluknya sekilas. Bagaimanapun juga dia adalah teman terbaik yang pernah kumiliki. Aku sempat frustasi ketika tiba-tiba saja dia menghilang dari hidupku.
“Bagaimana kabarmu? Kau tidak membawa pasanganmu?” cecarku bertubi-tubi.
Dia tersenyum lagi, miring. Darimana dia belajar cara tersenyum seperti itu? jika malas menarik kedua sudut bibirmu, kenapa kau paksakan untuk tersenyum? Menyebalkan!
“Aku baik. Maaf karna tidak berpamitan padamu dulu. Aku harus melanjutkan pendidikanku di Bandung, jadi aku pergi. Toh, tidak ada lagi alasanku untuk tetap berada disini. Sudah ada yang menjagamu waktu itu,” jelasnya menerawang.
“Setidaknya kau harus berpamitan padaku. Jangan membuatku khawatir seperti seorang idiot.” Omelku lagi.
 “Tentu saja aku tidak perlu pamit padamu, bodoh! Aku hanya pergi sebentar dan kemudian kembali lagi. Jadi untuk apa berpamitan?”
“Tapi lima tahun itu lama sekali. Dan aku tidak tahu dimana keberadaanmu. Dasar bodoh!”
“Seharusnya kau mencari tahu. Semarang dan Bandung tidak terlalu jauh. Dan kau pikir, kau hidup dijaman apa? Ada begitu banyak jejaring sosial yang bisa kau gunakan untuk mencariku, kenapa tidak kau coba. Kau memang gadis pemalas. Selalu seperti itu,”
Aku menatapnya sendu. Pria ini tidak banyak berubah. Tetap ceria dan seenaknya sendiri seperti dulu. Tapi aku menangkap sorot lain dalam matanya. Ia seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu yang entah aku sendiri tidak tahu apa itu. Mungkin aku melihat garis-garis bibirnya yang kini tengah tersenyum, tapi matanya sama sekali tidak bisa berbohong. Kedua matanya seperti menyiratkan kesedihan yang mendalam. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Semoga seperti itu.
***
“Mom sedang berpikir untuk menjodohkanku dengan anak temannya,” keluhku pada Kevin saat kami bertemu disalah satu kedai Soto dikawasan Kota lama Semarang.
Huh, bicara tentang kota lama, aku ingat saat masih kecil aku dan Kevin sering sekali berkeliling bermain sepeda disekitar taman disebelah Gereja Blenduk. Ah, betapa menyenangkannya masa-masa itu.
“Kukira tak ada salahnya menerima perjodohan itu,” tanggapnya kalem. Aku menoleh cepat kearah Kevin dengan tatapan horor.
“Kau gila? Kau pikir aku hidup dijaman Siti Nurbaya, huh?” semburku dengan nafas tertahan. Ah, benarkan? Pria ini benar-benar tidak bisa diandalkan.
“Anggap saja kau sedang berbakti pada orang tuamu. Aku pun pasti akan melakukan hal itu jika aku berada diposisimu. Terima saja, dan semuanya beres. Orang tuamu pasti memberikan yang terbaik untukmu,”
Entahlah, kurasa Kevin banyak berubah. Dia menjadi lebih dewasa setelah pulang dari Bandung. Ah, ya aku lupa! Aku dan dia memang sudah bukan anak ingusan lagi, bahkan umur kami pun sudah pantas untuk berumah tangga. Aish~ medadak aku menjadi mulas jika harus membicarakan masalah ini lagi, sial.
“Tak masalah jika yang dijodohkan denganku adalah...” aku meliriknya sebentar, tak berniat meneruskan kata-kataku. Seperti harapanku dia mengerutkan keningnya bingung, memfokuskan pandangannya kearahku dengan tatapan penuh tanya.
“Adalah?” tanyanya dengan menyipitkan matanya, curiga. Aku hanya terkekeh melihat tingkahnya. Kurasa mengerjainya sedikit tak masalah, toh dia juga sering mengerjaiku. Rasakan ini, Kevin!
“Kau pasti sudah tahu siapa yang kumaksud,” ucapku dengan senyum misterius tersungging.
“Aa~ aku tahu arti senyum itu. Jangan bilang Lee Dong Hae? Ah~ gadis ini benar-benar gila ternyata.” Ucapnya frustasi. Aish~ sial, bagaimana dia bisa menebak jalan pikiranku semudah itu. Menyebalkan!
Dan aku langsung membuang muka ketika ekspresi mengejek terpampang diwajah jeleknya. Dan dia semakin tergelak melihat responku yang sepertinya sesuai dengan dugaannya. Dan aku geram, haruskah kubuat kesenangannya bertambah berkali lipat?
“Ah ya. Bagaimana kau bisa tahu kalau orang itu adalah Lee Dong Hae? Lee Dong Hae yang datang melamarku, berlutut sambil menyodorkan seikat bunga mawar dihadapanku. Ah~ kurasa hidupku akan sempurna jika ia langsung menyeretku secara paksa untuk menikah dengannya hari itu juga. Sempurna~” khayalku dengan ekspresi yang sengaja kulebih-lebihkan.
Aku merasa ada seseorang yang baru saja menyentil keningku, dan aku tahu siapa pelakunya. Kevin!
“Yak! Sakit tahu!” semprotku tepat didepan wajahnya.
“Kau terlalu banyak menonton sinetron, rupanya! Dasar anak muda jaman sekarang, apa saja yang ada didalam otak kecilmu ini?” ucapnya sambil menepuk-nepuk kepalaku.
“Apa yang kau lakukan? Singkirkan tanganmu dari rambutku. Bukankah kau habis memegang gorengan itu? Aarghttt!!!” jeritku frustasi. Dan makhluk bernama Kevin itu hanya tersenyum polos tanpa dosa.
***
Sudah seminggu sejak aku dan Kevin bertemu dikedai soto waktu itu, dan aku belum bertemu dengannya lagi. Ia seperti menghilang lagi, tanpa jejak. Kenapa pria itu suka sekali membuatku cemas dan bertanya-tanya?
Hujan sudah mengguyur kotaku sejak sore tadi. Aku mengalami migrain karena kehujanan saat pulang bekerja dan langsung tertidur dengan lelapnya. Ini salah satu obat ampuhku untuk menghilangkan migrain. Aku terbangun saat jam dindingku menunjukan pukul 23.45 malam. Saat aku membuka ponselku ada beberapa panggilan tak terjawab yang semuanya berasal dari Kevin. Ada apa dengan pria itu? Tidak biasanya dia menelponku sampai berkali-kali seperti ini.
Aku segera bangkit dan menelponnya, memastikan bahwa dia baik-baik saja. Bagaimanapun juga dia adalah sahabatku, hal yang wajar jika aku khawatir padanya.
“Kev, kau baik-baik saja kan?” tanyaku begitu suara diseberang menyahut.
“Kenapa lama sekali? Kau kemana saja?” aku tersenyum samar mendengar dia mengomel dari seberang sana. Membayangkan ekspresi jengkel yang tercetak diwajah jeleknya. Pasti lucu sekali.
“Keluarlah, ada yang ingin kutunjukkan padamu,”
Belum sempat aku membalas ucapannya sambungan telah terputus. Aish~ pria ini benar-benar seenaknya sendiri.
***
“Would you marry me?”
Aku terkejut setengah mati begitu membuka pintu depan rumahku dan mendapati sosok Kevin yang berlutut didepanku sambil mengenggam sebuket mawar merah.
Dia tersenyum padaku, manis sekali. Tatapan matanya yang sendu berhasil menghipnotisku. Apakah ia sekarang sedang mengejekku dan berperan menjadi Lee Dong Hae yang datang melamarku? Ah~ dia benar-benar konyol!
Aku masih terpaku ditempatku. Tak bisa bergerak sedikitpun. Aku mencoba mencari kebohongan lewat sorot matanya, barangkali dia sedang mengerjaiku. Siapa yang tahu jalan pikiran pria abstrak didepanku ini? Dan detik berikutnya sekujur tubuhku terasa menggigil karena aku tidak menemukan setitik kebohongan pun dalam raut wajahnya. Kurasa dia sungguh-sungguh kali ini. Dan perutku terasa mulas tiba-tiba tanpa alasan yang jelas.
“Sampai kapan kau akan membiarkanku berlutut seperti ini? Kakiku bisa kram jika harus berlutut seperti ini terus,” interupsinya yang berhasil menyeret kesadaranku secara paksa.
“Kau tidak sedang bercanda, kan?” tanyaku was-was. Siapa tahu dia berbalik dan mengejekku.
“Apa aku terlihat seperti sedang bercanda sekarang?” tanyanya kembali dengan wajah serius. Aku menelan ludahku susah payah. Aku benar-benar gugup sekarang.
“Jadi bagaimana? Kau mau jadi pengantinku tidak?” tambahnya lagi tak sabaran.
Aku kembali mengerjapkan mataku. Berusaha mengembalikan isi otakku yang mendadak kosong.
“Aku pernah bermimpi dilamar oleh seorang dan entah kenapa kurasa kau melamarku dari hasil mencontek mimpiku,” ucapku asal setelah berhasil menguasai diriku lagi.
Kulihat dia menganga lebar. Dan ucapanku berikutnya berhasil membuatnya tambah menganga.
“Dan pria macam apa yang melamar seorang gadis tanpa menanyakan perasaannya terlebih dulu? Kau terlalu percaya diri sebagai seorang pria,”
“Kau pikir aku peduli? Aku tahu kau mencintaiku, dari caramu bersikap dihadapanku. Aku seorang pria dan aku merasakannya,” sahutnya kalem. Kevin bangkit berdiri dan memberikan bunga mawar itu padaku.
“Haruskah aku menyeretmu tengah malam seperti ini untuk menikah denganku saat ini juga?” tambahnya yang membuatku sadar akan sesuatu.
Jadi dia, melakukan semua seperti yang telah kuceritakan padanya? Pria ini memang tak pernah bisa ditebak jalan pikirannya. Dan lamaran ini? Bagaimana bisa aku menduga kalau lamaran ini berasal dari orang sepertinya? Sahabatku sendiri.
“Kurasa skenarioku tidak terlalu buruk,” gumamku sambil tersenyum menatapi bunga mawar dalam gendonganku.
“Mom, aku akan menikah!!” sorakku dalam hati dengan senyum terkembang.
*END*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar