“Would you marry me?”
Pria dengan tatapan sendu itu
tersenyum padaku. Manis. Sangat manis hingga aku tak mampu mengecap rasanya.
Benarkah ini? Pria yang berada dihadapanku ini tengah berlutut melamarku.
Apakah aku sedang⎼
Byurr.
Dan seketika air bah menenggelamkan
tubuhku dan bersamaan dengan itu, pria itu pun menghilang. Kini aku tengah
terombang-ambing dalam ganasnya gelombang air yang tiba-tiba menerjangku. Oh
sial! Aku lupa, aku tidak bisa berenang! Kurasa aku akan segera⎼
“Bangun!!! Dasar gadis pemalas. Kau
pikir sudah jam berapa sekarang, huh?”
Aish~ sial. Dan lagi⎼ baiklah ini suara
ibuku tercinta, mengawali pagi dengan kebiasaan hebohnya.
“Mom, haruskah membangunkanku
dengan cara sekejam ini?” gerutuku masih memejamkan mata sambil mengusap
wajahku yang basah karna aksi sadisnya tadi.
Well, pagi yang sempurna. Bahkan
Lee Dong Hae pun dengan kurang ajarnya menerobos kedalaman kerajaan ciptaanku
sendiri. Sial.
***
Gaun putih, mawar putih, jas putih
dan gedung dengan nuansa serba putih. Ah, dua orang itu tengah tersenyum manis
memamerkan kebahagiaan. Ini adalah kali ketiga dalam dua bulan terakhir aku
datang ke acara pernikahan orang-orang terdekatku. Tak masalah jika mereka
mulai melangkah menggapai hidup baru mereka. Tapi aku mulai bosan ketika mereka
mulai menanyakan kapan gilianku tiba.
“Kapan kau akan
menyusul kami? Kau sudah cukup matang untuk membangun sebuah rumah tangga,”
Ah, pertanyaan klasik yang selalu
berhasil membuatku mual setiap kali aku mendengarnya. Sebagai gadis normal,
tentu saja aku juga menginginkan apa yang semua orang inginkan. Menikah,
membangun sebuah keluarga. Tak masalah jika kau sudah memiliki calonmu. Tapi
untuk orang senaif diriku, rasanya sulit sekali untuk dapat mempercayai perkataan
seorang pria.
“Elina, maaf. Kita
putus saja...”
Kalimat itu berhasil
menjungkir-balikan hidupku yang tenang dalam sekejap mata. Bahkan pria ini
sudah melamarku dua minggu yang lalu. Dan kenapa tiba-tiba dia seperti ini?
Apakah dia tengah mengerjaiku? Ini tidak lucu sama sekali, sungguh!
“Kau bercanda, kan?”
tanyaku memastikan.
Dan dia hanya
menggeleng. Dua kali. Dan itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya.
Airmataku tiba-tiba meleleh tanpa permisi. Aku hancur, benar-benar hancur. Apa
yang akan kukatakan pada kedua orang tuaku?
***
“Seharusnya kau tahu, tidak semua
pria sebrengsek Adrian. Dan kurasa dia tidak brengsek juga. Mungkin dia punya
alasan lain kenapa memutuskanmu waktu itu. Dan kenyataan yang harus kau terima
adalah bahwa seberapa keras kau mencoba untuk tetap menjalin hubungan
dengannya, cepat atau lambat semua itu akan berakhir. Kalian tidak ditakdirkan
untuk bersama. Itulah kenyataannya.”
Aku menoleh ke bangku sampingku
sebentar, memiringkan kepalaku. Melihat siapa sosok yang dengan kurang ajarnya
menganggu acara menyepiku disudut gedung ini. Mataku melebar sempurna melihat
sesosok pria yang sudah lama sekali menghilang dari hidupku. Kevin. Sahabatku
yang tiba-tiba menghilang tanpa bekas ketika mendengar aku resmi berpacaran
dengan Adrian.
“Ck. Ternyata kau? Kukira kau tidak
akan pernah muncul lagi dihadapanku setelah menghilang lima tahun yang lalu.”
Sinisku padanya setelah berhasil mengatasi keterkejutanku. Dan dia hanya
tersenyum miring. Aish~ anak ini!
“Anak nakal, kemana saja kau? Aku
hampir gila mencarimu waktu itu, kau tahu?” tambahku mencubit lengannya gemas.
Dan dia semakin tergelak. Dan aku benci, sungguh.
“Kau terlalu sibuk dengan pacar
barumu dan seenaknya saja mengabaikanku. Jadi jangan salahkan aku jika
tiba-tiba aku menghilang. Hahahaha!” kelakarnya.
“Aku merindukanmu. Sungguh,” ucapku
kemudian dan memeluknya sekilas. Bagaimanapun juga dia adalah teman terbaik
yang pernah kumiliki. Aku sempat frustasi ketika tiba-tiba saja dia menghilang
dari hidupku.
“Bagaimana kabarmu? Kau tidak
membawa pasanganmu?” cecarku bertubi-tubi.
Dia tersenyum lagi, miring.
Darimana dia belajar cara tersenyum seperti itu? jika malas menarik kedua sudut
bibirmu, kenapa kau paksakan untuk tersenyum? Menyebalkan!
“Aku baik. Maaf karna tidak
berpamitan padamu dulu. Aku harus melanjutkan pendidikanku di Bandung, jadi aku
pergi. Toh, tidak ada lagi alasanku untuk tetap berada disini. Sudah ada yang
menjagamu waktu itu,” jelasnya menerawang.
“Setidaknya kau harus berpamitan
padaku. Jangan membuatku khawatir seperti seorang idiot.” Omelku lagi.
“Tentu saja aku tidak perlu pamit padamu,
bodoh! Aku hanya pergi sebentar dan kemudian kembali lagi. Jadi untuk apa
berpamitan?”
“Tapi lima tahun itu lama sekali. Dan
aku tidak tahu dimana keberadaanmu. Dasar bodoh!”
“Seharusnya kau mencari tahu.
Semarang dan Bandung tidak terlalu jauh. Dan kau pikir, kau hidup dijaman apa?
Ada begitu banyak jejaring sosial yang bisa kau gunakan untuk mencariku, kenapa
tidak kau coba. Kau memang gadis pemalas. Selalu seperti itu,”
Aku menatapnya sendu. Pria ini
tidak banyak berubah. Tetap ceria dan seenaknya sendiri seperti dulu. Tapi aku
menangkap sorot lain dalam matanya. Ia seperti sedang berusaha menyembunyikan
sesuatu yang entah aku sendiri tidak tahu apa itu. Mungkin aku melihat garis-garis
bibirnya yang kini tengah tersenyum, tapi matanya sama sekali tidak bisa
berbohong. Kedua matanya seperti menyiratkan kesedihan yang mendalam. Entahlah,
mungkin hanya perasaanku saja. Semoga seperti itu.
***
“Mom sedang berpikir untuk
menjodohkanku dengan anak temannya,” keluhku pada Kevin saat kami bertemu
disalah satu kedai Soto dikawasan Kota lama Semarang.
Huh, bicara tentang kota lama, aku
ingat saat masih kecil aku dan Kevin sering sekali berkeliling bermain sepeda
disekitar taman disebelah Gereja Blenduk. Ah, betapa menyenangkannya masa-masa
itu.
“Kukira tak ada salahnya menerima
perjodohan itu,” tanggapnya kalem. Aku menoleh cepat kearah Kevin dengan
tatapan horor.
“Kau gila? Kau pikir aku hidup
dijaman Siti Nurbaya, huh?” semburku dengan nafas tertahan. Ah, benarkan? Pria
ini benar-benar tidak bisa diandalkan.
“Anggap saja kau sedang berbakti
pada orang tuamu. Aku pun pasti akan melakukan hal itu jika aku berada
diposisimu. Terima saja, dan semuanya beres. Orang tuamu pasti memberikan yang
terbaik untukmu,”
Entahlah, kurasa Kevin banyak
berubah. Dia menjadi lebih dewasa setelah pulang dari Bandung. Ah, ya aku lupa!
Aku dan dia memang sudah bukan anak ingusan lagi, bahkan umur kami pun sudah
pantas untuk berumah tangga. Aish~ medadak aku menjadi mulas jika harus
membicarakan masalah ini lagi, sial.
“Tak masalah jika yang dijodohkan
denganku adalah...” aku meliriknya sebentar, tak berniat meneruskan
kata-kataku. Seperti harapanku dia mengerutkan keningnya bingung, memfokuskan
pandangannya kearahku dengan tatapan penuh tanya.
“Adalah?” tanyanya dengan
menyipitkan matanya, curiga. Aku hanya terkekeh melihat tingkahnya. Kurasa
mengerjainya sedikit tak masalah, toh dia juga sering mengerjaiku. Rasakan ini,
Kevin!
“Kau pasti sudah tahu siapa yang
kumaksud,” ucapku dengan senyum misterius tersungging.
“Aa~ aku tahu arti senyum itu.
Jangan bilang Lee Dong Hae? Ah~ gadis ini benar-benar gila ternyata.” Ucapnya
frustasi. Aish~ sial, bagaimana dia bisa menebak jalan pikiranku semudah itu.
Menyebalkan!
Dan aku langsung membuang muka
ketika ekspresi mengejek terpampang diwajah jeleknya. Dan dia semakin tergelak
melihat responku yang sepertinya sesuai dengan dugaannya. Dan aku geram,
haruskah kubuat kesenangannya bertambah berkali lipat?
“Ah ya. Bagaimana kau bisa tahu
kalau orang itu adalah Lee Dong Hae? Lee Dong Hae yang datang melamarku,
berlutut sambil menyodorkan seikat bunga mawar dihadapanku. Ah~ kurasa hidupku
akan sempurna jika ia langsung menyeretku secara paksa untuk menikah dengannya
hari itu juga. Sempurna~” khayalku dengan ekspresi yang sengaja
kulebih-lebihkan.
Aku merasa ada seseorang yang baru
saja menyentil keningku, dan aku tahu siapa pelakunya. Kevin!
“Yak! Sakit tahu!” semprotku tepat
didepan wajahnya.
“Kau terlalu banyak menonton
sinetron, rupanya! Dasar anak muda jaman sekarang, apa saja yang ada didalam
otak kecilmu ini?” ucapnya sambil menepuk-nepuk kepalaku.
“Apa yang kau lakukan? Singkirkan
tanganmu dari rambutku. Bukankah kau habis memegang gorengan itu? Aarghttt!!!”
jeritku frustasi. Dan makhluk bernama Kevin itu hanya tersenyum polos tanpa
dosa.
***
Sudah seminggu sejak aku dan Kevin
bertemu dikedai soto waktu itu, dan aku belum bertemu dengannya lagi. Ia
seperti menghilang lagi, tanpa jejak. Kenapa pria itu suka sekali membuatku
cemas dan bertanya-tanya?
Hujan sudah mengguyur kotaku sejak
sore tadi. Aku mengalami migrain karena kehujanan saat pulang bekerja dan
langsung tertidur dengan lelapnya. Ini salah satu obat ampuhku untuk
menghilangkan migrain. Aku terbangun saat jam dindingku menunjukan pukul 23.45
malam. Saat aku membuka ponselku ada beberapa panggilan tak terjawab yang
semuanya berasal dari Kevin. Ada apa dengan pria itu? Tidak biasanya dia
menelponku sampai berkali-kali seperti ini.
Aku segera bangkit dan menelponnya,
memastikan bahwa dia baik-baik saja. Bagaimanapun juga dia adalah sahabatku,
hal yang wajar jika aku khawatir padanya.
“Kev, kau baik-baik saja kan?”
tanyaku begitu suara diseberang menyahut.
“Kenapa lama sekali?
Kau kemana saja?” aku tersenyum samar mendengar dia
mengomel dari seberang sana. Membayangkan ekspresi jengkel yang tercetak
diwajah jeleknya. Pasti lucu sekali.
“Keluarlah, ada yang
ingin kutunjukkan padamu,”
Belum sempat aku membalas ucapannya
sambungan telah terputus. Aish~ pria ini benar-benar seenaknya sendiri.
***
“Would you marry me?”
Aku terkejut setengah mati begitu
membuka pintu depan rumahku dan mendapati sosok Kevin yang berlutut didepanku
sambil mengenggam sebuket mawar merah.
Dia tersenyum padaku, manis sekali.
Tatapan matanya yang sendu berhasil menghipnotisku. Apakah ia sekarang sedang
mengejekku dan berperan menjadi Lee Dong Hae yang datang melamarku? Ah~ dia
benar-benar konyol!
Aku masih terpaku ditempatku. Tak
bisa bergerak sedikitpun. Aku mencoba mencari kebohongan lewat sorot matanya,
barangkali dia sedang mengerjaiku. Siapa yang tahu jalan pikiran pria abstrak
didepanku ini? Dan detik berikutnya sekujur tubuhku terasa menggigil karena aku
tidak menemukan setitik kebohongan pun dalam raut wajahnya. Kurasa dia
sungguh-sungguh kali ini. Dan perutku terasa mulas tiba-tiba tanpa alasan yang
jelas.
“Sampai kapan kau akan membiarkanku
berlutut seperti ini? Kakiku bisa kram jika harus berlutut seperti ini terus,”
interupsinya yang berhasil menyeret kesadaranku secara paksa.
“Kau tidak sedang bercanda, kan?”
tanyaku was-was. Siapa tahu dia berbalik dan mengejekku.
“Apa aku terlihat seperti sedang
bercanda sekarang?” tanyanya kembali dengan wajah serius. Aku menelan ludahku
susah payah. Aku benar-benar gugup sekarang.
“Jadi bagaimana? Kau mau jadi
pengantinku tidak?” tambahnya lagi tak sabaran.
Aku kembali mengerjapkan mataku.
Berusaha mengembalikan isi otakku yang mendadak kosong.
“Aku pernah bermimpi dilamar oleh
seorang dan entah kenapa kurasa kau melamarku dari hasil mencontek mimpiku,”
ucapku asal setelah berhasil menguasai diriku lagi.
Kulihat dia menganga lebar. Dan
ucapanku berikutnya berhasil membuatnya tambah menganga.
“Dan pria macam apa yang melamar
seorang gadis tanpa menanyakan perasaannya terlebih dulu? Kau terlalu percaya
diri sebagai seorang pria,”
“Kau pikir aku peduli? Aku tahu kau
mencintaiku, dari caramu bersikap dihadapanku. Aku seorang pria dan aku
merasakannya,” sahutnya kalem. Kevin bangkit berdiri dan memberikan bunga mawar
itu padaku.
“Haruskah aku menyeretmu tengah
malam seperti ini untuk menikah denganku saat ini juga?” tambahnya yang
membuatku sadar akan sesuatu.
Jadi dia, melakukan semua seperti
yang telah kuceritakan padanya? Pria ini memang tak pernah bisa ditebak jalan pikirannya.
Dan lamaran ini? Bagaimana bisa aku menduga kalau lamaran ini berasal dari
orang sepertinya? Sahabatku sendiri.
“Kurasa skenarioku tidak terlalu
buruk,” gumamku sambil tersenyum menatapi bunga mawar dalam gendonganku.
“Mom, aku akan
menikah!!” sorakku dalam hati dengan senyum
terkembang.
*END*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar