Kamis, 05 Desember 2013

REMORSE





Aku masih merasa baik-baik saja ketika orang-orang mulai melangkah menjauh dari hidupku. Tapi bagaimana ceritanya jika kini kau yang harus menjauh dari hidupku? Apakah aku akan baik-baik saja hidup tanpamu?

***
Aku kembali mematut bayanganku untuk yang terakhir kalinya. Membenarkan sedikit tatanan rambutku, dan memastikan riasan wajahku tidak terlalu berlebihan. Lagi, aku menghembuskan nafas lagi. Entah sudah berapa kali aku mendesah pagi ini. Aku gusar setengah mati. Bukankah hari ini aku harus memasang senyum terbaikku? Yah. Bagaimanapun juga aku harus tersenyum, kan? Tersenyum untuk kebahagiaanmu. Untuk kehidupan baru yang akan segera kau sambut esok hari. Bersama orang yang kau cintai, setidaknya begitu seharusnya.

 “Hampir gelap, dan novelku sudah selesai kubaca. Kau tidak ingin pulang?” Ucapku membelah kesunyian. Kulihat dia mendesah lagi, dan aku mulai gusar melihat tingkahnya yang seperti itu sejak dua jam terakhir. Aku mencoba mengabaikan firasat buruk yang tengah menggerogoti relung hatiku.
“Aku akan menikah dua bulan lagi. Dijodohkan.” Ucapnya lirih menatap rumput yang terinjak sepatu kesayangannya. Aku mencelos, dan kurasa udara disekitarku menipis. Satu hal yang kusadari, udaraku telah beranjak dari tempatnya dan aku sangsi udaraku akan kembali berada disekitarku lagi. Aku menatapnya nanar, berusaha mengabaikan sesak yang tiba-tiba menyeruak didadaku.
“Selamat kalau begitu, kutunggu undanganmu,” kuharap aku bisa menampilkan senyum terbaikku saat ini.
Sekelebat kenangan ketika ia mengabarkan tentang pernikahannya dua bulan lalu muncul lagi dalam benakku. Entah sudah berapa kali potongan peristiwa itu berputar-putar dalam otakku seperti kaset rusak.
***
Jika boleh meminta, aku ingin hari ini tidak ada. Lebih dari itu, aku ingin senja itu tidak pernah ada. Senja dimana untuk pertama kalinya aku melihat wajah terluka dan frustasi yang tercetak jelas diwajah tampannya. Bodoh! Jika kau tersiksa, kenapa tidak kau tolak saja perjodohan konyol itu! Sungguh, pria sepertimu tidak seharusnya ada dimuka bumi ini.
Suara alunan musik yang menandakan upacara pernikahan akan segera dilakukan telah berbunyi memenuhi gedung putih dengan dekorasi bunga mawar merah dan putih disetiap sudutnya ini. Aku memandang sosok pria yang tengah berdiri tegak didepan panggung itu menuggu sang mempelai wanita memasuki ruangan. Aku tersenyum kecut memandangnya. Bagaimana pun juga aku harus memuaskan pandanganku sebelum ia menjadi milik wanita lain seutuhnya.
***
“Untukmu...”
Aku mengerjap kaget saat mendapati setangkai bunga Daisy warna merah menyala berada dihadapanku. Tanpa menolehkan pandanganku pun aku tahu siapa orang yang memberikan bunga ini padaku. Seulas senyum terulas begitu saja diwajahku saat pandangan mata kami bertemu.
“Terimakasih..” ucapku tulus. Bagaimanpun juga dia satu-satunya pria selain saudaraku yang memberikan bunga padaku. Dan yang paling kusukai adalah hampir setiap hari rabu dia akan memberikannya padaku.
“Hei, sekali-kali kau harus memberiku bunga mawar merah, Min Woo-ya! Jangan bunga pinggir jalan seperti ini terus,”gurauku padanya suatu hari.
“Kau tidak tahu, huh? Bunga mawar itu banyak durinya. Terlalu beresiko memberikan bunga seperti itu pada gadis seceroboh dirimu!” sahutnya menimpali.
“Apa kau sedang mengkhawatirkan aku akan tertusuk durinya, begitukah?” tanyaku mencoba memastikan.
“Ah, lebih dari itu aku mengkhawatirkan kau akan merusak kelopak bunganya yang kelewat cantik itu. Kau tahu berapa mahal harga setangkai mawar merah, eoh?”
Aku menganga lebar mendengar ucapannya. Pria ini benar-benar...
“Yak! Choi Min Woo, kau sudah bosan hidup, huh!!” semprotku yang membuat ia terjungkal dari tempat duduknya karena teriakanku yang membahana.
***
Alunan musik itu telah berhenti sepenuhnya dan sekarang kedua mempelai tengah bersiap memulai prosesi sakral itu. Prosesi  yang seharusnya kau alami sekali seumur hidup, dan akan menjadi aib yang sangat memalukan jika kau sampai mengulanginya. Tentu saja. Menikah akan lebih baik hanya dilakukan sekali tanpa adanya perceraian. Pernikahan yang dilandasi dengan cinta dari masing-masing pasangan tanpa ada unsur paksaan sedikitpun.
“Jika ada yang keberatan dengan pernikahan ini, katakan sekarang atau diam selamanya,” intruksi Pastur yang akan menikahkan Min Woo.
Sekelebat akal sehatku seperti menghilang. Didalam hatiku terjadi perdebatan yang sangat menggelikan.
Kau bisa menghentikannya sekarang atau tidak sama sekali. Setidaknya kau masih memiliki kesempatan untuk mengutarakan perasaanmu. Apakah kau mau memendam cinta sendirian? Dan akhirnya hanya kau yang tersakiti, mati disudut dunia sendirian tanpa ada orang lain yang peduli padamu?
Apa kau gila? Kau ingin menghancurkan pernikahan sahabatmu? Kau hanya memikirkan perasaanmu sendiri tanpa mempedulikan perasaan orang lain!
Mereka saja tidak peduli padamu, kenapa kau harus repot-repot peduli pada mereka. Katakan sekarang atau kau akan menyesal.
Pikirkan baik-baik paman dan bibi Choi, Kim Ha Na! Kau tidak boleh egois.
“Baiklah kurasa kita bisa memulai upacara pemberkatannya” putus sang Pastur beberapa saat kemudian yang berhasil mengembalikanku ke alam sadar meninggalkan perdebatan dua sisi hatiku yang bodoh itu. Ah, baiklah. Aku yang bodoh!
***
“Mengapa tiba-tiba kau memberiku tulip kuning?” protesku heran ketika tak mendapati bunga Daisy merah lagi seperti biasanya.
“Belakangan aku sedang banyak berpikir tentang warna kuning, dan tadi pagi aku melihat tulip kuning itu dipajang di toko bunga. Well, aku tertarik dan membelinya,”
Aku iseng menghitung buket bunga tulip kuning ditanganku itu. Tiga belas. Ada tiga belas.
“Kenapa jumlahnya tiga belas?” tanyaku lagi, kali ini penasaran.
“Kau lupa? Tiga belas? Itu tanggal lahirku. Tiga belas Maret.” Jelasnya lagi dan aku hanya mengangguk paham.
“Dan apa yang kau pikirkan tentang warna kuning?” lanjutku lagi. Min Woo nampak menghela nafas sebentar.
“Banyak. Kuning bisa berarti persahabatan. Tapi lebih daripada itu, kau tahu matahari?” katanya balik bertanya. Aku hanya mengangguk.
“Bukankah dia berwarna kuning? Dia termasuk kedalam jenis bintang kuning. Dia mencerminkan energi dan menyebarkan cahaya. Kau tahu maksudku? Bersahabat denganmu memberikan energi tersendiri untukku, begitulah.” Jelasnya panjang lebar. Tapi aku menangkap ekspresi lain dalam wajahnya. Ekspresi frustasi, tertekan dan terluka? Entahlah.
***
“Aku bersedia...” suara helaan nafas lega terdengar dari bibi Choi, ibu Min Woo yang duduk dibangku sebelahku ketika sang mempelai wanita selesai mengucapkan ikrar pernikahan mereka. Dari sudut mataku dapat kulihat dia meneteskan air matanya. Bolehkah aku menangis juga? Toh tidak akan ada yang tahu arti tangisku. Tangis bahagia atau tangis sedih akan tetap sama saja terlihat seperti tangisan bukan?
Siang ini aku sedang berada didalam kamar Min Woo, menunggunya yang tengah mandi. Sebuah buku catatan dengan sampul hitam yang terletak diatas bantalnya berhasil menarik perhatianku. Entah mengapa, tapi aku sangat penasaran. Apa yang ada dalam benak pria seperti Min Woo. Diam-diam pun aku membukanya, setelah memastikan Min Woo takkan keluar kamar mandi dalam waktu dekat.
‘Arti beberapa macam bunga’ itulah tulisan pertama yang kudapati.
“BUNGA DAISY: Kepolosan, kemurnian, kesucian, kesetiaan, kelembutan, kesederhanaan. Bunga Daisy Merah : kecantikan yang tidak diketahui pemiliknya, cinta, tulus, sederhana, cinta yang jauh dari gairah yang berlebihan, cinta diam-diam.
BUNGA TULIP: Cinta yang Sempurna. Bunga Tulip Kuning : cinta yang tidak ada harapan, cinta bertepuk sebelah tangan.”
Aku masih sempat tersenyum membaca tulisan ini. Bagaimana mungkin seorang pria menyimpan catatan seperti ini? Tapi tulisan dihalaman berikutnya membuatku serasa terjungkal dari duniaku. Dunia seakan berhenti berputar saat aku mendapati uraian hatinya yang terpendam selama ini.
“Aku sudah memberikan tanda sejelas ini, bunga Daisy warna merah! Dan gadis itu, gadis macam apa yang tidak mengetahui arti dari sebuah bunga? Apakah aku harus mengucapkannya dengan lantang bahwa aku mencintainya? Bahwa Aku, Choi Min Woo dengan sepenuh hati mencintai gadis bodoh bernama Kim Ha Na.”
Aku tersenyum samar menatapnya. Menatap pria yang mencintaiku dalam diam. Pria yang kucintai dalam diam tanpa sempat kuutarakan sedikit saja perasaanku. Choi Min Woo, aku menyesal. Aku mencitaimu, sungguh. Aku memang gadis bodoh. Sekarangpun, seberapa kencang pun aku berteriak tak ada gunanya.
“Min Woo-ya, selamat atas pernikahanmu.” Ucapku sambil menjabat tangan Min Woo, pria yang tak akan pernah lagi bisa kumiliki.
 END




Tidak ada komentar:

Posting Komentar