Aku masih merasa baik-baik saja ketika orang-orang mulai melangkah menjauh dari hidupku. Tapi bagaimana ceritanya jika kini kau yang harus menjauh dari hidupku? Apakah aku akan baik-baik saja hidup tanpamu?
***
Aku kembali mematut bayanganku
untuk yang terakhir kalinya. Membenarkan sedikit tatanan rambutku, dan
memastikan riasan wajahku tidak terlalu berlebihan. Lagi, aku menghembuskan
nafas lagi. Entah sudah berapa kali aku mendesah pagi ini. Aku gusar setengah
mati. Bukankah hari ini aku harus memasang senyum terbaikku? Yah. Bagaimanapun
juga aku harus tersenyum, kan? Tersenyum untuk kebahagiaanmu. Untuk kehidupan
baru yang akan segera kau sambut esok hari. Bersama orang yang kau cintai, setidaknya begitu
seharusnya.
“Hampir gelap, dan novelku sudah selesai
kubaca. Kau tidak ingin pulang?” Ucapku membelah kesunyian. Kulihat dia
mendesah lagi, dan aku mulai gusar melihat tingkahnya yang seperti itu sejak
dua jam terakhir. Aku mencoba mengabaikan firasat buruk yang tengah
menggerogoti relung hatiku.
“Aku akan menikah dua
bulan lagi. Dijodohkan.” Ucapnya lirih menatap rumput yang terinjak sepatu
kesayangannya. Aku mencelos, dan kurasa udara disekitarku menipis. Satu hal
yang kusadari, udaraku telah beranjak dari tempatnya dan aku sangsi udaraku
akan kembali berada disekitarku lagi. Aku menatapnya nanar, berusaha
mengabaikan sesak yang tiba-tiba menyeruak didadaku.
“Selamat kalau begitu,
kutunggu undanganmu,” kuharap aku bisa menampilkan senyum terbaikku saat ini.
Sekelebat kenangan ketika ia
mengabarkan tentang pernikahannya dua bulan lalu muncul lagi dalam benakku.
Entah sudah berapa kali potongan peristiwa itu berputar-putar dalam otakku
seperti kaset rusak.
***
Jika boleh meminta, aku ingin hari
ini tidak ada. Lebih dari itu, aku ingin senja itu tidak pernah ada. Senja
dimana untuk pertama kalinya aku melihat wajah terluka dan frustasi yang
tercetak jelas diwajah tampannya. Bodoh! Jika kau tersiksa, kenapa tidak kau
tolak saja perjodohan konyol itu! Sungguh, pria sepertimu tidak seharusnya ada
dimuka bumi ini.
Suara alunan musik yang menandakan
upacara pernikahan akan segera dilakukan telah berbunyi memenuhi gedung putih
dengan dekorasi bunga mawar merah dan putih disetiap sudutnya ini. Aku
memandang sosok pria yang tengah berdiri tegak didepan panggung itu menuggu
sang mempelai wanita memasuki ruangan. Aku tersenyum kecut memandangnya.
Bagaimana pun juga aku harus memuaskan pandanganku sebelum ia menjadi milik
wanita lain seutuhnya.
***
“Untukmu...”
Aku mengerjap kaget
saat mendapati setangkai bunga Daisy warna merah menyala berada dihadapanku.
Tanpa menolehkan pandanganku pun aku tahu siapa orang yang memberikan bunga ini
padaku. Seulas senyum terulas begitu saja diwajahku saat pandangan mata kami
bertemu.
“Terimakasih..” ucapku
tulus. Bagaimanpun juga dia satu-satunya pria selain saudaraku yang memberikan
bunga padaku. Dan yang paling kusukai adalah hampir setiap hari rabu dia akan
memberikannya padaku.
“Hei, sekali-kali kau
harus memberiku bunga mawar merah, Min Woo-ya! Jangan bunga pinggir jalan
seperti ini terus,”gurauku padanya suatu hari.
“Kau tidak tahu, huh?
Bunga mawar itu banyak durinya. Terlalu beresiko memberikan bunga seperti itu
pada gadis seceroboh dirimu!” sahutnya menimpali.
“Apa kau sedang
mengkhawatirkan aku akan tertusuk durinya, begitukah?” tanyaku mencoba
memastikan.
“Ah, lebih dari itu aku
mengkhawatirkan kau akan merusak kelopak bunganya yang kelewat cantik itu. Kau
tahu berapa mahal harga setangkai mawar merah, eoh?”
Aku menganga lebar
mendengar ucapannya. Pria ini benar-benar...
“Yak! Choi Min Woo, kau
sudah bosan hidup, huh!!” semprotku yang membuat ia terjungkal dari tempat
duduknya karena teriakanku yang membahana.
***
Alunan musik itu telah berhenti
sepenuhnya dan sekarang kedua mempelai tengah bersiap memulai prosesi sakral
itu. Prosesi yang seharusnya kau alami
sekali seumur hidup, dan akan menjadi aib yang sangat memalukan jika kau sampai
mengulanginya. Tentu saja. Menikah akan lebih baik hanya dilakukan sekali tanpa
adanya perceraian. Pernikahan yang dilandasi dengan cinta dari masing-masing
pasangan tanpa ada unsur paksaan sedikitpun.
“Jika ada yang keberatan dengan
pernikahan ini, katakan sekarang atau diam selamanya,” intruksi Pastur yang
akan menikahkan Min Woo.
Sekelebat akal sehatku seperti
menghilang. Didalam hatiku terjadi perdebatan yang sangat menggelikan.
Kau bisa
menghentikannya sekarang atau tidak sama sekali. Setidaknya kau masih memiliki
kesempatan untuk mengutarakan perasaanmu. Apakah kau mau memendam cinta
sendirian? Dan akhirnya hanya kau yang tersakiti, mati disudut dunia sendirian
tanpa ada orang lain yang peduli padamu?
Apa kau gila? Kau ingin
menghancurkan pernikahan sahabatmu? Kau hanya memikirkan perasaanmu sendiri
tanpa mempedulikan perasaan orang lain!
Mereka saja tidak peduli
padamu, kenapa kau harus repot-repot peduli pada mereka. Katakan sekarang atau
kau akan menyesal.
Pikirkan baik-baik
paman dan bibi Choi, Kim Ha Na! Kau tidak boleh egois.
“Baiklah kurasa kita bisa memulai
upacara pemberkatannya” putus sang Pastur beberapa saat kemudian yang berhasil
mengembalikanku ke alam sadar meninggalkan perdebatan dua sisi hatiku yang
bodoh itu. Ah, baiklah. Aku yang bodoh!
***
“Mengapa tiba-tiba kau
memberiku tulip kuning?” protesku heran ketika tak mendapati bunga Daisy merah
lagi seperti biasanya.
“Belakangan aku sedang
banyak berpikir tentang warna kuning, dan tadi pagi aku melihat tulip kuning
itu dipajang di toko bunga. Well, aku tertarik dan membelinya,”
Aku iseng menghitung
buket bunga tulip kuning ditanganku itu. Tiga belas. Ada tiga belas.
“Kenapa jumlahnya tiga
belas?” tanyaku lagi, kali ini penasaran.
“Kau lupa? Tiga belas?
Itu tanggal lahirku. Tiga belas Maret.” Jelasnya lagi dan aku hanya mengangguk
paham.
“Dan apa yang kau
pikirkan tentang warna kuning?” lanjutku lagi. Min Woo nampak menghela nafas
sebentar.
“Banyak. Kuning bisa
berarti persahabatan. Tapi lebih daripada itu, kau tahu matahari?” katanya
balik bertanya. Aku hanya mengangguk.
“Bukankah dia berwarna
kuning? Dia termasuk kedalam jenis bintang kuning. Dia mencerminkan energi dan
menyebarkan cahaya. Kau tahu maksudku? Bersahabat denganmu memberikan energi
tersendiri untukku, begitulah.” Jelasnya panjang lebar. Tapi aku menangkap
ekspresi lain dalam wajahnya. Ekspresi frustasi, tertekan dan terluka? Entahlah.
***
“Aku bersedia...” suara helaan
nafas lega terdengar dari bibi Choi, ibu Min Woo yang duduk dibangku sebelahku
ketika sang mempelai wanita selesai mengucapkan ikrar pernikahan mereka. Dari
sudut mataku dapat kulihat dia meneteskan air matanya. Bolehkah aku menangis
juga? Toh tidak akan ada yang tahu arti tangisku. Tangis bahagia atau tangis
sedih akan tetap sama saja terlihat seperti tangisan bukan?
Siang ini aku sedang
berada didalam kamar Min Woo, menunggunya yang tengah mandi. Sebuah buku
catatan dengan sampul hitam yang terletak diatas bantalnya berhasil menarik
perhatianku. Entah mengapa, tapi aku sangat penasaran. Apa yang ada dalam benak
pria seperti Min Woo. Diam-diam pun aku membukanya, setelah memastikan Min Woo
takkan keluar kamar mandi dalam waktu dekat.
‘Arti beberapa macam
bunga’ itulah tulisan pertama yang kudapati.
“BUNGA DAISY: Kepolosan,
kemurnian, kesucian, kesetiaan, kelembutan, kesederhanaan. Bunga Daisy Merah :
kecantikan yang tidak diketahui pemiliknya, cinta, tulus, sederhana, cinta yang
jauh dari gairah yang berlebihan, cinta diam-diam.
BUNGA TULIP: Cinta yang
Sempurna. Bunga Tulip Kuning : cinta yang tidak ada harapan, cinta bertepuk
sebelah tangan.”
Aku masih sempat tersenyum
membaca tulisan ini. Bagaimana mungkin seorang pria menyimpan catatan seperti
ini? Tapi tulisan dihalaman berikutnya membuatku serasa terjungkal dari
duniaku. Dunia seakan berhenti berputar saat aku mendapati uraian hatinya yang
terpendam selama ini.
“Aku sudah memberikan
tanda sejelas ini, bunga Daisy warna merah! Dan gadis itu, gadis macam apa yang
tidak mengetahui arti dari sebuah bunga? Apakah aku harus mengucapkannya dengan
lantang bahwa aku mencintainya? Bahwa Aku, Choi Min Woo dengan sepenuh hati
mencintai gadis bodoh bernama Kim Ha Na.”
Aku tersenyum samar menatapnya.
Menatap pria yang mencintaiku dalam diam. Pria yang kucintai dalam diam tanpa
sempat kuutarakan sedikit saja perasaanku. Choi Min Woo, aku menyesal. Aku
mencitaimu, sungguh. Aku memang gadis bodoh. Sekarangpun, seberapa kencang
pun aku berteriak tak ada gunanya.
“Min Woo-ya, selamat atas
pernikahanmu.” Ucapku sambil menjabat tangan Min Woo, pria yang tak akan pernah
lagi bisa kumiliki.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar