Rabu, 20 November 2013

Holding Back The Tears Part II



Aku tidak tahu seberapa jauh aku telah meninggalkan apartemenku. Aku membuka mataku perlahan saat merasakan mobil ini sudah berjalan diantara jalan berbatu dan lajunya sudah jauh lebih pelan daripada yang tadi. Aku melihat sebuah bangunan yang hampir mirip dengan bungalau terpampang jelas didepan mataku. Sepanjang pengetahuanku, ayahku maksudku ayah mertuaku tidak mempunyai rumah dinegara ini, jadi ini rumah milik siapa?
Aku masih mencoba menerka-nerka tentang kepemilikan bangunan yang semakin terpampang jelas didepanku ini ketika kurasakan mesin mobil Seung Joon sudah dimatikan. Dia keluar dari mobil dan menggebrak pintunya dengan sangat keras hingga membuat lamunanku buyar. Dia berjalan kesisi pintu mobil dan membukakan pintunya untukku. Seumur hidupku, ini baru pertama kalinya ia sudi membukakan pintu mobilnya untukku. Apakah ini pertanda baik yang Tuhan coba kirimkan padaku? Entahlah.
“cepat keluar!” ucapnya dengan suara tajam.
Tanpa menunggu reaksiku lagi dia langsung menarik tanganku keluar dari mobil dan aku kembali merasakan sakit itu lagi ketika  tangannya mencengkeram pergelangan tanganku kuat.
Aku menahan agar rintihan kesakitanku tidak lolos dari bibirku atau dia akan bertindak lebih.
Dia kembali menyeretku memasuki bangunan ini. Aku melewati taman bunga yang tertata rapi disepanjang jalan masuk. Aku tidak terlalu memperhatikan jenis bunga yang ada disana karena aku sibuk menyamai langkah Seung Joon yang lebar-lebar dan terlalu cepat.
Setelah  memasuki rumah itu aku dihadapkan pada sebuah ruang tamu yang cukup mewah, ada satu set kursi duduk disana berwarna coklat muda, kurasa itu untuk mengimbangi warna krem pada tembok ruangan ini. Selanjutnya ada beberapa koleksi guci-guci antik disudut-sudut ruangan, beberapa lukisan nampak tergantung didinding. Dan lihat! Ada sebuah cermin disalah satu sudut ruangan ini, kurasa itu berfungsi untuk menambahkan kesan luas pada ruangan tamu ini.
Dan sesaat aku terkesiap melihat penampilanku yang berantakan didepan cermin itu. Aku masih memakai piama doraemon biru telur kesukaanku, rambut acak-acakan, ujung hidung yang memerah dan mata yang sembab. Bahkan aku masih mengenakan sandal kamarku, Shaun the Sheep  yang berbulu dan kini bulunya sudah terlihat kotor dan mengenaskan.
Aku masih sibuk mengamati penampilanku dari pantulan cermin tadi, tanpa sadar ada seseorang yang tengah berdiri disampingku dan menatapku tajam masih dengan posisi menggenggam tanganku.
“Rupanya seperti itu kelakuanmu selama disini?” ucapnya dengan nada mengintimidasi.
Aku menoleh sebentar kearahnya, dan saat kusadari dia telah menghempaskan tanganku kasar hingga aku terpelanting. Tapi nasib baik masih memihak padaku, aku jatuh tepat diatas sofa ruangan ini tapi naasnya kakiku terantuk kaki meja, rasanya nyeri sekali tapi tetap saja kutahan sakitnya.
“kau disini sibuk berselingkuh dengan pria brengsek itu, sementara aku harus bekerja keras untuk membiayai hidupmu disini! Hebat sekali kelakuanmu, Nyonya?”
“siapa yang kau sebut pria brengsek?” kusadari itu adalah suaraku yang berhasil lolos dari tenggorokanku. Tidak terdengar seperti biasanya, sedikit asing bagi telingaku sendiri.
“Siapa lagi selain Choi Min Woo? Apa mungkin ada pria lain? Oh. Jadi ada berapa pria yang kau kencani, Nyonya?” desisnya tajam.
“Apa maksudmu berbicara seperti itu? atas dasar apa kau menuduhku berselingkuh?” ucapku dengan nada meninggi. Kuberanikan untuk menatap wajahnya kini.
Sesaat tatapan mata kami bertemu dan sebuah desiran halus kembali menyapa hatiku. Aku adalah gadis terbodoh, bahkan disaat seperti inipun sesuatu yang aneh dan menjijikan itu masih menghinggapi hatiku. Kuharap mukaku tidak memerah sekarang.
“semua yang kulihat malam ini dan dihari-hari sebelumnya sudah membuktikan semuanya, kau berselingkuh dengan pria brengsek itu!” teriaknya dengan wajah emosi.
“aku tahu bahkan kalian tinggal dalam apartement yang sama, berangkat kuliah bersama, makan siang bersama, dan malamnya kalian akan pulang dari part-time bersama.” Dia menatapku tajam
 “Oh~ manis sekali, kalian terlihat seperti pasangan pengantin baru. Menjijikan!” cibirnya lagi.
Aku bangkit dari posisi duduku, posisi dimana ia terasa lebih mengintimidasiku karena dia dalam posisi berdiri sekarang.
“siapa yang kau bilang berselingkuh? Aku?” jari telunjukku kuarahkan pada wajahku sendiri. Aku tertawa meremehkan pemikirannya.
“Cih! Aku heran, memangnya aku selingkuh dari siapa? Kenapa harus dikatakan selingkuh? Aku tidak merugikan orang-orang disekitarnya, dan begitu pula sebaliknya. Dia tidak pernah merugikan orang-orang disekitarku!”
Aku menarik nafas, mencoba menstabilkan kerja antara otak, hati, dan tentunya mulutku yang akan sangat berperan malam ini.
“kau tahu kenapa orang-orang disekitarku tidak merasa rugi? Karena memang tak ada orang-orang yang berdiri disekitarku selain dia. Tidak ada yang mau mendengarkan keluh kesahku selain dia, tidak ada yang dengan sukarela mau menenangkanku selain dia. Tidak ada yang mau mendukungku disaat keterpurukanku selain dia. Jadi kenapa aku harus memikirkan orang-orang disekitarku kalaupun kenyataanya hanya ada dia disekitarku?”
Aku menatapnya tajam, kurasakan mataku mulai memanas. Aku mendongakkan kepalakumenengadah kelangit-langitmelakukan usaha terakhirku agar air mataku tidak bobol lagi malam ini.
Dadaku naik turun dengan cepat merasakan emosiku yang memuncak. Aku tahu, wajahku pasti sudah sangat memerah, menahan emosi dan debaran jantung yang makin menggila.
“Oh, jadi rupanya aku menjadi penganggu  dalam dunia baru yang sengaja kalian ciptakan sendiri seperti itu? Dunia Choi Dong Kyo dan Choi Min Woo, begitu? Menggelikan sekali! Jadi kau anggap aku ini apa?” semburnya cepat dalam satu tarikan nafas.
“Memangnya kau mau kuanggap apa? Kau mengharapkan aku menganggapmu sebagai apa? Bukankah selama ini kau tak pernah menganggap keberadaanku? Lalu atas dasar apa kau menuntut aku untuk menganggapmu? Kau adalah manusia paling egois yang pernah kutemui! Kau itu kekanakan!”
Aku kembali menyemburkan semua kata-kata yang telah terpendam sekian lama dalam hatiku. Aku sudah lelah dan menyerah. Bahkan aku sudah meminta dia meninggalkanku dan tidak memikirkanku lagi disaat usia pernikahan kami baru menginjak dua minggu. Usia dimana seharusnya pengantin baru masih merasakan cinta yang menggebu-gebu.
“Ahh~”
Aku meringis kesakitan saat kurasakan tamparan tanganya mendarat dipipiku dengan sempurna. Dia berani menamparku? Aku menatapnya nanar. Apa dia pikir kata-katanya selama ini belum cukup membuat goresan dalam hatiku hingga ia harus menambahnya lagi dengan sebuah tamparan, seperti itu?
“AKU SUAMIMU!!! Kau berpura-pura melupakannya, huh?” dia berteriak tepat didepan wajahku. Reflek aku mundur selangkah. Namun dia berhasil mencekal kedua lenganku, memenjarakanku dan memastikan aku tetap berada dalam jangkauannya.
Aku tersenyum meremehkannya dan mengibaskan tangannya yang menggungkung tubuhku.
“Suami?” ucapku sakartis.
“Kau lupa? Kau bahkan tidak pernah mengharapkan pernikahan ini terjadi. Lalu bagaimana dengan aku? Apakah aku harus menjadi satu-satunya pihak yang dengan tampang mengemis dan mengiba mengharapkan terjadinya pernikahan terkutuk ini?”
“Aku lebih dari pada itu, aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Aku sudah mencoba melarikan diri agar tidak terjebak pernikahan konyol ini bersamamu dengan keluar dari rumah saat aku akan lulus dari sekolah menengah. Aku bahkan sudah menundanya lagi selama empat tahun, berharap kau akan membatalkan pertunangan konyol itu dan mencari gadis lain. Tapi apa yang kau lakukan, huh? Kau malah dengan bodohnya menunggu selama itu dan menikah denganku setelahnya.”
“aku bahkan sudah kabur kesini setelah pernikahan menjengkelkan itu, jadi kenapa kau tidak mengerti juga? Aku ingin lepas dari penderitaan ini, aku pergi menjauh darimu agar aku tidak perlu memikirkanmu lagi, agar aku tidak perlu menangisimu lagi, agar aku tidak perlu mencintaimu lagi!”
“Jikapun aku diberi kesempatan untuk lahir kembali dan memilih, tentu saja aku akan memilih untuk tidak mencintaimu. Tentu saja aku akan memilih untuk menerima cinta seorang laki-laki yang tulus mencintaiku, tanpa harus mengharapkan cinta dari lelaki yang bahkan tak pernah mengharapkan kehadiranku sedetikpun.”
Aku berhenti sejenak. Mengatur nafasku yang pendek-pendek dan memburu. Kuakui ini adalah pembicaraan terpanjang seumur hidupku didepannya, aku sudah tidak peduli lagi. Aku menyerah. Aku sudah lelah, aku sudah kalah. Hatiku terlalu sakit untuk meneruskan semua ini. Eomma dan Appa pasti akan mengerti saat kujelaskan alasannya nanti, kuharap seperti itu.
“aku lelah, aku menyerah. Sebaiknya kita akhiri saja semua ini. Ceraikan aku!” ucapku parau, terdengar hampir menangis.
“Aku tidak ingin lebih tersakiti dari pada ini! Kirimkan saja surat perceraiannya pada pengacara keluarga Choi, aku tidak ingin mengurusnya.”  Ucapku pelan dengan nada tenang.
Aku menatapnya lurus-lurus. Dia hanya berdiri mematung dengan wajah tanpa ekspresi dan tatapan tajam. Aku tidak peduli, sudah tidak ingin peduli lagi padanya. Aku berbalik menuju pintu keluar, dan kulihat ada seorang wanita cantik masuk sambil menyunggingkan senyum kearahnya.
Kurasa wanita itu baru menyadari keadaan disini, dan mengernyitkan dahinya saat mendapati keadaanku yang berantakan. Dan hei, memangnya jam berapa sekarang hingga seorang wanita bertamu kerumah seorang pada saat dini hari seperti ini?
Aku menoleh kearah Seung Joon sebentar dan tersenyum mengejek, mirip seringaian.
“Ah ya, dan satu lagi. Kau terlihat sangat ahli saat berciuman dengan wanita didepan umum, Tuan. Kuharap kau akan menemukan partner yang sepadan denganmu.”
“Aku pergi,” ucapku sambil membungkukan badanku sedikit.
 Setidaknya aku masih menjaga sopan santunku. Aku tersenyum sekilas saat melewati wanita yang berdiri didepan pintu masuk dengan canggung. Well, baiklah. Biar kukatakan kali ini sekali lagi. Pernikahan ini sudah berakhir!
000ooo000
Aku keluar dari bangunan putih itu dengan perasaan berantakan dan campur aduk. Hatiku seribu kali lebih sakit daripada ketika aku masuk tadi. Semuanya sudah selesai sekarang, tidak ada yang bisa dipertahankan lagi.
Aku berjalan gontai menyusuri taman yang terpampang dihalaman rumah ini dengan pandangan kosong. Aku tidak tahu dimana aku berada sekarang, aku tidak membawa dompet maupun handphoneku, dan kurasa tempat ini jauh dari mana-mana. Tapi apa peduliku? Toh aku harus tetap berjalan menjauh dari rumah itu, yang kubutuhkan sekarang adalah sedikit keajaiban agar aku bisa pulang kembali keapartemenku setidaknya dengan keadaan utuh.
Angin musim gugur kembali menggelitiki tubuhku. Aku teringat, aku hanya memakai piyama tipis satu lembar yang tidak mungkin dapat menahan udara dingin yang berlomba menyerang tubuhku. Sandal kamarku juga sudah tidak membantu banyak. Ada rusak dibeberapa titik karena aku terus memaksakan langkahku dijalan berbatu ini sehingga menyebabkan udara dingin lolos menjamahi kakiku, hingga nyeri akibat terantuk meja tadi semakin terasa.
Aku mendongakkan wajahku dan menatap langit malam. Disini bintang terlihat lebih bersinar terang. Kurasa selama dinegara ini baru kali ini aku dapat melihat bintang dengan lebih jelas. Bintang berada pada tingkat kecerahan maksimalnya, ada beberapa rasi yang kukenali. Kuperkirakan ini sudah pagi, mungkin pukul tiga pagi? Dan aku masih berkeliaran dijalan dengan wajah berantakan? Oh kuharap ada petugas keamanan keliling yang menemukanku disekitar sini dan membawaku pulang kembali, setidaknya kantor polisi akan terasa lebih hangat daripada diluar sini.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berjalan menyusuri jalanan bebatuan dengan banyak sekali kerikil tajam ini, namun secercah harapanku muncul ketika kutemui sebuah bangku panjang yang terlihat seperti halte sementara. Entahlah, apakah akan ada bus yang beroperasi saat dinihari seperti ini, tapi aku akan menungu.
Aku mendudukan tubuh lelahku dihalte ini, hampir tidak ada keringat yang keluar dari tubuhku, udaranya terlampau dingin. Gigiku bergemelutuk menahan dingin, kurasakan nyeri disekitar pergelangan tanganku telah berubah menjadi pegal yang luar biasa dan menjalar hampir keseluruh permukaan tubuhku. Bermuara pada hatiku yang semakin menyesak dan terasa sakit.
Kurasakan airmataku meleleh begitu saja. Hari ini aku sudah dua kali melanggar janjiku sendiri. Aku menangis lagi, dan kenapa alasannya karena pria brengsek itu lagi? Aku menghela nafasku yang serasa makin sesak akibat tangisku. Rasanya jantungku terlalu berulah dalam rongga sempit itu malam ini.
Aku menekuk kedua kakiku keatas dan menelungkupkan wajahku diantara kedua lututku. Berusaha mencari sedikit kehangatan dan kenyamanan ditengah dingin yang sangat mencekam. Kurasa kakiku sudah kram dan mati rasa, mungkin jari-jarinya sudah membeku dibawah sana. Mungkin jika besok ada yang menemukanku telah terbujur kaku ditempat ini, mungkin itu adalah satu-satunya kesempatanku untuk pulang. Pulang kerumah yang nyaman, dimana didalamnya terdapat Eomma dan Appa-ku yang selama hampir enam belas tahun ini tidak kutemui. Pulang kesurga?
Aku menghentikan pikiran-pikiran anehku ketika aku mendengar suara deru mesin mobil yang mendekat. Secercah harapan muncul untukku. Namun dalam lubuk hatiku yang paling kecil, tetap terselip rasa takut dan was-was. Bagaimanapun juga aku masih trauma dengan peristiwa penyerangan para pria berandal itu.
Kudengar suara mobil itu berhenti tepat dihadapanku, dan suara pintu yang dibanting keras membuatku terlonjak. Mau tidak mau aku mendongakkan wajahku, melihat siapa orang yang datang. Dan hatiku mencelos ketika mendapati wajah itu lagi. Itu wajah Cho Seung Joon. Aku tidak ingin melihatnya sekarang.
Aku ingin segera pergi dari tempat ini, tapi aku ingin kemana? Aku tidak yakin dapat menemukan tempat yang lebih baik daripada disini setelah ini. Otak dan hatiku masih berdebat tentang kemungkinan untuk kabur dari hadapan pria ini, perlahan aku menurunkan kedua kakiku. Aku mulai beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Namun suara baritonnya kembali menyapa gendang telingaku, hingga aku menghentikan langkahku sejenak. Mungkin ia ingin melanjutkan perdebatannya tadi? Oh, terserah!
“Berhenti bertingkah bodoh dan membuatku cemas,” ucapnya terdengar tenang dan dalam. Jenis nada bicara yang menurutku tidak pernah ia tujukan untukku.
Aku merasakan sesuatu yang hangat menempel dipunggungku. Dan kalian tahu itu apa? Itu jaketnya, apa dia berniat memberikannya untukku? Oh, ayolah itu tidak akan meluluhkan hatiku! Maaf tapi sepertinya hatiku berbohong, ia sedang bersorak gembira didalam sana, bodoh sekali dan menggelikan.
Aku hanya menghela nafas kasar dan kembali melangkah kali ini berbalik mendekati bangku. Aku mengambil jaket itu dan meletakkannya dibangku tadi dan beranjak lagi. Tidak ada gunanya berdebat lagi, toh semuanya sudah berakhir. Ini tidak akan merubah apapun.
“mau kemana kau?” tanyanya jengkel, menaikkan nada bicaranya menjadi tinggi dan ketus. Ini adalah dia yang sebenarnya, nada bicara yang selalu ia gunakan padaku. Aku berhenti lagi, sebentar.
“kemana saja, asal tidak ada kau ditempat itu,” Jawabku tanpa menoleh.
Aku sudah beranjak lagi tapi tangannya kembali mencekal pergelangan tanganku. Oh ayolah, kasihan pergelangan tanganku, besok ia harus bekerja untuk mengetik beberapa laporan dilab.
“sebegitu inginnya kah kau pergi dariku, hm?” nada bicaranya melembut dan dalam satu sentakan dia memelukku dari arah belakang. Dalam keadaan normal mungkin hatiku sudah bersorak bahagia. Oh baikalah, iya sekarangpun hatiku tengah bersorak bahagia. Sial, kenapa aku bisa sebodoh ini?
Nafasnya kembali berhembus, menggelitiki permukaan leherku yang tak tertutup kerah piyamaku. Dia mengeratkan pelukannya disekitar perutku.
“sebegitu membencinyakah dirimu padaku?” aku merasakan sesuatu yang basah dan hangat menyentuh pundak belakangku.
Dia terisak? Apakah dia sedang menangis? Apakah ini triknya agar aku tidak jadi menceraikannya? Aku ingat, dia akan sah menjadi pewaris perusahaan keluarga setelah dapat memberikan cucu. Dan sialnya anak itu harus keluar dari rahimku. Pantas saja pria ini mau menungguku begini lama, ini semua untuk karirnya begitu? Aku sudah tidak tertarik, ini akan membuatku semakin sesak.
Aku melepas paksa tangannya yang melingkar diperutku. Aku sudah tidak ingin bertahan dengan pernikahan ini lebih lama lagi. Aku harus segera mengakhirinya atau aku akan mati perlahan karena cinta yang tak terbalaskan.  Entah mengapa sekelebat bayangan wajah Min Woo yang terluka karena cintanya padaku yang tak terbalas memberondong masuk kedalam alam sadarku.
Mungkin dia juga merasakan apa yang kurasakan. Hatiku mencelos, aku sama saja dengan pria yang berdiri dibelakangku ini. Aku brengsek karena menyia-nyiakan perasaan tulus dari seorang pria seperti Min Woo. Entah mendapat kekuatan darimana aku hanya mengikuti instingku untuk berlari.
Saat ini yang kubutuhkan adalah Min Woo. Dia yang selalu ada untukku. Ya, aku hanya ingin melihat wajahnya tersenyum. Memastikan esok hari ia akan tersenyum cerah seperti hari-hari sebelumnya. Aku hanya ingin melihat senyumnya.
Kurasakan Seung Joon mengejarku. Dia membalik paksa tubuhku dan omo~ dia membopongku secara paksa masuk kedalam mobilnya. Kurasa dia sudah gila.
“Ya! Apa yang kau lakukan? TURUNKAN AKU!!!” Teriakku sambil memukul-mukul punggungnya yang tepat berada didepan wajahku. Dia menahan tubuhku dipundaknya dan posisiku sangat mengenaskan. Darah serasa berlomba mengalir menuju kepalaku, dan kurasa aku mulai mual.
“Kita selesaikan semuanya secara cepat, dan mungkin kau tak kan pernah menyesali apa yang akan menimpamu hari ini!”
Aku merasakan seringaiannya. Aku kalut, ngeri dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpaku nanti. Aku mencoba berteriak memanggil nama Min Woo dalam hati. Aku mulai terisak lagi, aku menangis lagi. Kali ini bukan karena cinta yang tertangguhkan. Tapi karena aku terlalu takut menghadapi pria ini.

000ooo000

Aku tidak mengenal sosoknya hari ini. Dia bukan Cho Seung Joon yang selama ini kulihat. Dia membabi buta, memaksakan setiap keinginanya padaku. Aku kembali menjerit kesakitan saat dia kembali menamparku, dia bersiap-siap melepas sabuk dari celananya dan aku hanya dapat menatap ngeri. Posisiku sangat mengenaskan, dia mengikatku dikursi ruang makan, dan sebagian tubuhku sudah memar dan lebam dibeberapa titik akibat pukulannya.
Aku hanya mampu berdoa dan berharap Min Woo mau menolongku sekarang.
“Kau pikir seberapa hebatnya dirimu hingga mencoba kabur dari hidupku, HUH?” dia kembali menyemburkan suaranya didepan wajahku. Aku semakin ketakutan.
Kurasakan panas dan perih menjalari pahaku ketika suara kulit ikat pinggang itu mendarat disana. Ini kekerasan. Aku bisa menuntutnya, apa dia bodoh?
“setidaknya berikan aku bayi dari rahim sialanmu itu dulu, lalu kau boleh pergi dengan pria manapun sesukamu!”
Ya Tuhan, ucapannya kali ini benar-benar keterlaluan. Aku hanya mampu menangis dalam diam. Aku sudah tidak peduli dengan harga diriku, aku hanya ingin menangis dan Min Woo akan datang menyelamatkanku. Oh kemana pria itu? Brengsek!
Aku terkesiap saat tangannya membelai pipiku. Awalnya lembut sangat lembut namun  tiba-tiba ia mencengkeramnya kasar dan membuatku kesakitan.
“Ahh~” rintihan itu lolos dari mulutku saat kurasakan remasannya dipipiku semakin mengeras. Satu hal yang aku tahu pria ini sudah gila. Aku mencoba menggeleng-gelengkan kepalaku agar dia melepas cengkeramannya. Namun ia malah semakin memajukan wajahnya dan dia tersenyum mengejek.
“Akan kubuat kau menyesal karna meminta cerai dariku! Selamat datang dineraka yang telah kau ciptakan sendiri, Nyonya!”
“ah ya, siapa namamu? Haruskah aku memanggilmu Nyonya Cho? Seperti itu? bukankah itu impianmu sejak dulu? Baiklah nyonya Cho, selamat bersenang-senang! Hahahahaha,”
Apa? Nyonya Cho? Mungkin wajahku akan seketika memerah jika saja itu ia lakukan enam bulan yang lalu saat pertama kali kami menikah. Sekarang bahkan aku tak sudi dipanggil seperti itu.
“Heii, dimana mulutmu? Apa suaramu sudah hilang? Kau tidak ingin memberontakku seperti tadi saat pertama kali masuk kerumah ini? Atau mungkin kau terlalu senang karena impianmu telah terwujud dengan aku memanggilmu sebagai Nyonya Cho?”
Dan dia menamparku lagi. Tapi aku sudah tidak dapat merasakan sakitnya. Tubuhku sudah kebas, mati rasa.
“Kau punya permintaan terakhir sebelum upacara pengesahan dirimu menjadi seorang Nyonya Cho?” dia mendonggakkan wajahku agar melihatnya yang kini tengah tersenyum menyeringai, lebih mirip orang sakit jiwa.
Aku mengumpulkan sisa tenagaku, menyuarakan isi hatiku sebelum kesadaranku benar-benar hilang. Aku menarik nafas pelan, menikmati setiap udara yang merasuk kedalamnya.
“Oppa,..” kurasakan tangannya yang kini tengah mengenggam tanganku bergetar karena aku mengucapkan kata-kata itu. aku terbatuk kecil, merasakan sesak diparu-paruku.
“Min Woo Op..pa, tolong ak...ku,” aku merasa seperti dipukul godam saat berhasil mengatakan kalimat terakhir itu. Aku merasakan air mataku meleleh, ada banyak ribuan cahaya yang menyerbu masuk mataku secara bertubi-tubi. Ada suara dengung panjang yang memekakkan telingaku dan aku tidak dapat merasakan apa-apa lagi. Kuharap aku sudah mati dan akan segera bertemu dengan kedua orangtuaku.
000ooo000
Aku terbangun ketika cahaya yang menyilaukan menimpa wajahku. Bau obatan-obatan yang menerjang indra penciumanku mengantarkanku pada satu kenyataan, aku masih hidup. Aku menggeliat pelan dan menoleh kesamping mendapati wajah kuyu Min Woo disana. Ia menatapku iba.
“Heii, kau sudah bangun? Apa kau tidak merindukanku? Kau lama sekali tertidur,” dia mengerucutkan bibirnya, lucu sekali.
Kulihat sudut bibirnya memar. Aku ingin sekali menangis dan memeluknya saat ini. Aku ingin memakinya karena tidak datang disaat aku menyebut namanya. Aku ingat janji konyolnya saat hari pertama aku berada di New York.
“Jika kau butuh bantuanku, pejamkan matamu dan sebut namaku tiga kali, kupastikan aku akan berada dihadapanmu secepat yang aku bisa,” dia mengucapkannya dengan wajah bersungguh-sungguh dan aku hanya tertawa meremehkannya waktu itu.
“apa aku juga harus menghentakkan kakiku ketanah dan seketika abrakadabra kau akan muncul didepanku, begitu? Hahahaha” aku terkekeh, dia terlalu banyak menonton cerita fantasi.
“aku serius Dong Kyo-ya! Sekali-sekali kau bisa mencobanya,” ucapnya serius.
Aku tahu, itu selalu berhasil karena setiap hari aku melakukannya, dan tanpa kutelepon dia sudah ada dihadapanku.
Aku hanya mampu tersenyum lemah melihat tingkahnya seperti itu. aku ingin mengeluarkan suaraku, namun dia sudah menggelengkan kepalanya. Menahanku agar tidak bergerak sedikitpun ataupun berucap sepatah katapun.
“aku panggilkan dokter dulu,” dia ingin beranjak pergi namun seketika kutahan tangannya.
“baiklah, aku tidak akan lama. Jadi bersikaplah manis sebentar saja, okey?” aku tahu ia sedang membujukku dan aku tidak suka.
Aku memasang wajah jengkelku, dan dia hanya mengacak rambutu pelan dan tertawa. Dia tetap beranjak dan memanggil dokter. Aish~ menyebalkan!
000ooo000
“Untuk sementara ini akan lebih baik kalau kau tinggal bersamaku dulu, aku perlu mengawasimu!” Well, Choi Min Woo yang menyebalkan sudah kembali.
“Kau kularang bekerja part-time. Aku juga tidak akan melakukannya lagi. Akan lebih baik jika kau fokus pada kuliahmu dan cepat menyelesaikannya. Kau mengerti?” Huh, wajahnya yang sok tua itu, aku membencinya.
“Yak! Kenapa kau malah mengerucutkan bibirmu seperti itu? kau harus menerima semua ini dan aku tidak suka penolakan! Jadi bersikap manislah adik kecil,” dia tersenyum. Senyum yang selalu kurindukan.
“Oppa, kurasa kau berubah banyak. Apa ada sesuatu yang coba kau sembunyikan dariku?” dia hanya tersenyum seklias dan menggeleng.
Ini hari terakhirku dirumah sakit setelah seminggu yang lalu aku sadar. Waktu itu aku berkeras untuk keluar dari rumah sakit dan mengurus risetku yang pastinya tercecer tak karuan. Dan kalian pasti sudah bisa menebak bukan? Benar sekali, Min Woo memarahiku habis-habisan dan aku tidak berani mengajaknya bicara setelahnya.
 “kau berubah Oppa, kau membenciku?” kurasakan mataku memanas. Belakangan aku menjadi sangat cengeng didepannya, kurasa.
Dia hanya menggeleng dan memapahku turun dari ranjang rumah sakit ini.
“jangan terlalu sensitif Dong-ie ya! Kau seperti nenek-nenek saja!” ucapnya kalem bermaksud menggodaku.
Aku tahu, ada yang ia coba sembunyikan dariku. Aku hafal sekali gelagatnya.
“Oppa?” panggilku dan dia menoleh kearahku.
“Bolehkah aku memelukmu?” ucapku pelan. Aku melihatnya, dia tampak ragu dan berpiki sesaat, namun akhirnya dia mengangguk juga.
Aku segera berlari kedalam pelukannya, tanganku melingkar sempurna dipinggangnya.
“Oppa, Bogoshipo~” ucapku terisak.
Dia tidak membalas, hanya memelukku lebih erat. Aku tenggelam dalam dada bidangnya. Dadanya bergemuruh, kurasakan dia mulai menundukkan wajahnya diantara leher dan pundakku. Kurasa dia menangis lagi. Laki-laki ini terkadang terlihat cenggeng dan kekanakan. Tskk.
“kau harus berjanji padaku Kyo-ya! Kau akan hidup dengan lebih baik setelah ini. Mau berjanji?” aku melihat matanya sembab. Aku menganggukkan persetujuan tanpa bantahan sedikitpun.
“Kajja~ kita harus segera pulang. Kau tidak rindu dengan apartemenmu, eoh?” dia sudah tersenyum lagi. Dan untuk saat ini, biarkan aku merasakan sedikit kebahagiaan ini, kebahagian yang menurutku takkan bertahan lama. Secepat datangnya, secepat itu pulalah ia akan pergi.

TBC


Tidak ada komentar:

Posting Komentar