Aku tidak tahu seberapa jauh aku telah
meninggalkan apartemenku. Aku membuka mataku perlahan saat merasakan mobil ini
sudah berjalan diantara jalan berbatu dan lajunya sudah jauh lebih pelan
daripada yang tadi. Aku melihat sebuah bangunan yang hampir mirip dengan
bungalau terpampang jelas didepan mataku. Sepanjang pengetahuanku, ayahku
maksudku ayah mertuaku tidak mempunyai rumah dinegara ini, jadi ini rumah milik
siapa?
Aku masih mencoba menerka-nerka tentang
kepemilikan bangunan yang semakin terpampang jelas didepanku ini ketika
kurasakan mesin mobil Seung Joon sudah dimatikan. Dia keluar dari mobil dan
menggebrak pintunya dengan sangat keras hingga membuat lamunanku buyar. Dia
berjalan kesisi pintu mobil dan membukakan pintunya untukku. Seumur hidupku,
ini baru pertama kalinya ia sudi membukakan pintu mobilnya untukku. Apakah ini
pertanda baik yang Tuhan coba kirimkan padaku? Entahlah.
Tanpa menunggu reaksiku lagi dia langsung
menarik tanganku keluar dari mobil dan aku kembali merasakan sakit itu lagi
ketika tangannya mencengkeram
pergelangan tanganku kuat.
Aku menahan agar rintihan kesakitanku tidak
lolos dari bibirku atau dia akan bertindak lebih.
Dia kembali menyeretku memasuki bangunan ini.
Aku melewati taman bunga yang tertata rapi disepanjang jalan masuk. Aku tidak
terlalu memperhatikan jenis bunga yang ada disana karena aku sibuk menyamai
langkah Seung Joon yang lebar-lebar dan terlalu cepat.
Setelah
memasuki rumah itu aku dihadapkan pada sebuah ruang tamu yang cukup
mewah, ada satu set kursi duduk disana berwarna coklat muda, kurasa itu untuk
mengimbangi warna krem pada tembok ruangan ini. Selanjutnya ada beberapa
koleksi guci-guci antik disudut-sudut ruangan, beberapa lukisan nampak tergantung
didinding. Dan lihat! Ada sebuah cermin disalah satu sudut ruangan ini, kurasa
itu berfungsi untuk menambahkan kesan luas pada ruangan tamu ini.
Dan sesaat aku terkesiap melihat penampilanku
yang berantakan didepan cermin itu. Aku masih memakai piama doraemon biru telur
kesukaanku, rambut acak-acakan, ujung hidung yang memerah dan mata yang sembab.
Bahkan aku masih mengenakan sandal kamarku, Shaun the Sheep yang berbulu dan kini bulunya sudah terlihat
kotor dan mengenaskan.
Aku masih sibuk mengamati penampilanku dari
pantulan cermin tadi, tanpa sadar ada seseorang yang tengah berdiri disampingku
dan menatapku tajam masih dengan posisi menggenggam tanganku.
“Rupanya seperti itu kelakuanmu selama
disini?” ucapnya dengan nada mengintimidasi.
Aku menoleh sebentar kearahnya, dan saat
kusadari dia telah menghempaskan tanganku kasar hingga aku terpelanting. Tapi
nasib baik masih memihak padaku, aku jatuh tepat diatas sofa ruangan ini tapi
naasnya kakiku terantuk kaki meja, rasanya nyeri sekali tapi tetap saja kutahan
sakitnya.
“kau disini sibuk berselingkuh dengan pria
brengsek itu, sementara aku harus bekerja keras untuk membiayai hidupmu disini!
Hebat sekali kelakuanmu, Nyonya?”
“siapa yang kau sebut pria brengsek?”
kusadari itu adalah suaraku yang berhasil lolos dari tenggorokanku. Tidak
terdengar seperti biasanya, sedikit asing bagi telingaku sendiri.
“Siapa lagi selain Choi Min Woo? Apa mungkin
ada pria lain? Oh. Jadi ada berapa pria yang kau kencani, Nyonya?” desisnya
tajam.
“Apa maksudmu berbicara seperti itu? atas
dasar apa kau menuduhku berselingkuh?” ucapku dengan nada meninggi. Kuberanikan
untuk menatap wajahnya kini.
Sesaat tatapan mata kami bertemu dan sebuah
desiran halus kembali menyapa hatiku. Aku adalah gadis terbodoh, bahkan disaat
seperti inipun sesuatu yang aneh dan menjijikan itu masih menghinggapi hatiku. Kuharap
mukaku tidak memerah sekarang.
“semua yang kulihat malam ini dan dihari-hari
sebelumnya sudah membuktikan semuanya, kau berselingkuh dengan pria brengsek
itu!” teriaknya dengan wajah emosi.
“aku tahu bahkan kalian tinggal dalam
apartement yang sama, berangkat kuliah bersama, makan siang bersama, dan
malamnya kalian akan pulang dari part-time bersama.” Dia menatapku tajam
“Oh~
manis sekali, kalian terlihat seperti pasangan pengantin baru. Menjijikan!”
cibirnya lagi.
Aku bangkit dari posisi duduku, posisi dimana
ia terasa lebih mengintimidasiku karena dia dalam posisi berdiri sekarang.
“siapa yang kau bilang berselingkuh? Aku?”
jari telunjukku kuarahkan pada wajahku sendiri. Aku tertawa meremehkan
pemikirannya.
“Cih! Aku heran, memangnya aku selingkuh dari
siapa? Kenapa harus dikatakan selingkuh? Aku tidak merugikan orang-orang
disekitarnya, dan begitu pula sebaliknya. Dia tidak pernah merugikan
orang-orang disekitarku!”
Aku menarik nafas, mencoba menstabilkan kerja
antara otak, hati, dan tentunya mulutku yang akan sangat berperan malam ini.
“kau tahu kenapa orang-orang disekitarku
tidak merasa rugi? Karena memang tak ada orang-orang yang berdiri disekitarku
selain dia. Tidak ada yang mau mendengarkan keluh kesahku selain dia, tidak ada
yang dengan sukarela mau menenangkanku selain dia. Tidak ada yang mau
mendukungku disaat keterpurukanku selain dia. Jadi kenapa aku harus memikirkan
orang-orang disekitarku kalaupun kenyataanya hanya ada dia disekitarku?”
Aku menatapnya tajam, kurasakan mataku mulai
memanas. Aku mendongakkan kepalaku⎼menengadah
kelangit-langit⎼melakukan usaha terakhirku agar
air mataku tidak bobol lagi malam ini.
Dadaku naik turun dengan cepat merasakan
emosiku yang memuncak. Aku tahu, wajahku pasti sudah sangat memerah, menahan
emosi dan debaran jantung yang makin menggila.
“Oh, jadi rupanya aku menjadi penganggu dalam dunia baru yang sengaja kalian ciptakan
sendiri seperti itu? Dunia Choi Dong Kyo dan Choi Min Woo, begitu? Menggelikan
sekali! Jadi kau anggap aku ini apa?” semburnya cepat dalam satu tarikan nafas.
“Memangnya kau mau kuanggap apa? Kau
mengharapkan aku menganggapmu sebagai apa? Bukankah selama ini kau tak pernah
menganggap keberadaanku? Lalu atas dasar apa kau menuntut aku untuk
menganggapmu? Kau adalah manusia paling egois yang pernah kutemui! Kau itu
kekanakan!”
Aku kembali menyemburkan semua kata-kata yang
telah terpendam sekian lama dalam hatiku. Aku sudah lelah dan menyerah. Bahkan
aku sudah meminta dia meninggalkanku dan tidak memikirkanku lagi disaat usia
pernikahan kami baru menginjak dua minggu. Usia dimana seharusnya pengantin
baru masih merasakan cinta yang menggebu-gebu.
“Ahh~”
Aku meringis kesakitan saat kurasakan
tamparan tanganya mendarat dipipiku dengan sempurna. Dia berani menamparku? Aku
menatapnya nanar. Apa dia pikir kata-katanya selama ini belum cukup membuat
goresan dalam hatiku hingga ia harus menambahnya lagi dengan sebuah tamparan,
seperti itu?
“AKU SUAMIMU!!! Kau berpura-pura melupakannya,
huh?” dia berteriak tepat didepan wajahku. Reflek aku mundur selangkah. Namun
dia berhasil mencekal kedua lenganku, memenjarakanku dan memastikan aku tetap
berada dalam jangkauannya.
Aku tersenyum meremehkannya dan mengibaskan
tangannya yang menggungkung tubuhku.
“Suami?” ucapku sakartis.
“Kau lupa? Kau bahkan tidak pernah
mengharapkan pernikahan ini terjadi. Lalu bagaimana dengan aku? Apakah aku
harus menjadi satu-satunya pihak yang dengan tampang mengemis dan mengiba
mengharapkan terjadinya pernikahan terkutuk ini?”
“Aku lebih dari pada itu, aku sama sekali
tidak menginginkan pernikahan ini. Aku sudah mencoba melarikan diri agar tidak
terjebak pernikahan konyol ini bersamamu dengan keluar dari rumah saat aku akan
lulus dari sekolah menengah. Aku bahkan sudah menundanya lagi selama empat
tahun, berharap kau akan membatalkan pertunangan konyol itu dan mencari gadis
lain. Tapi apa yang kau lakukan, huh? Kau malah dengan bodohnya menunggu selama
itu dan menikah denganku setelahnya.”
“aku bahkan sudah kabur kesini setelah pernikahan
menjengkelkan itu, jadi kenapa kau tidak mengerti juga? Aku ingin lepas dari
penderitaan ini, aku pergi menjauh darimu agar aku tidak perlu memikirkanmu
lagi, agar aku tidak perlu menangisimu lagi, agar aku tidak perlu mencintaimu
lagi!”
“Jikapun aku diberi kesempatan untuk lahir
kembali dan memilih, tentu saja aku akan memilih untuk tidak mencintaimu. Tentu
saja aku akan memilih untuk menerima cinta seorang laki-laki yang tulus
mencintaiku, tanpa harus mengharapkan cinta dari lelaki yang bahkan tak pernah
mengharapkan kehadiranku sedetikpun.”
Aku berhenti sejenak. Mengatur nafasku yang
pendek-pendek dan memburu. Kuakui ini adalah pembicaraan terpanjang seumur
hidupku didepannya, aku sudah tidak peduli lagi. Aku menyerah. Aku sudah lelah,
aku sudah kalah. Hatiku terlalu sakit untuk meneruskan semua ini. Eomma dan
Appa pasti akan mengerti saat kujelaskan alasannya nanti, kuharap seperti itu.
“aku lelah, aku menyerah. Sebaiknya kita akhiri
saja semua ini. Ceraikan aku!” ucapku parau, terdengar hampir menangis.
“Aku tidak ingin lebih tersakiti dari pada
ini! Kirimkan saja surat perceraiannya pada pengacara keluarga Choi, aku tidak
ingin mengurusnya.” Ucapku pelan dengan
nada tenang.
Aku menatapnya lurus-lurus. Dia hanya berdiri
mematung dengan wajah tanpa ekspresi dan tatapan tajam. Aku tidak peduli, sudah
tidak ingin peduli lagi padanya. Aku berbalik menuju pintu keluar, dan kulihat
ada seorang wanita cantik masuk sambil menyunggingkan senyum kearahnya.
Kurasa wanita itu baru menyadari keadaan
disini, dan mengernyitkan dahinya saat mendapati keadaanku yang berantakan. Dan
hei, memangnya jam berapa sekarang hingga seorang wanita bertamu kerumah
seorang pada saat dini hari seperti ini?
Aku menoleh kearah Seung Joon sebentar dan
tersenyum mengejek, mirip seringaian.
“Ah ya, dan satu lagi. Kau terlihat sangat
ahli saat berciuman dengan wanita didepan umum, Tuan. Kuharap kau akan
menemukan partner yang sepadan denganmu.”
“Aku pergi,” ucapku sambil membungkukan
badanku sedikit.
Setidaknya aku masih menjaga sopan santunku.
Aku tersenyum sekilas saat melewati wanita yang berdiri didepan pintu masuk
dengan canggung. Well, baiklah. Biar kukatakan kali ini sekali lagi. Pernikahan
ini sudah berakhir!
000ooo000
Aku keluar dari bangunan putih itu dengan
perasaan berantakan dan campur aduk. Hatiku seribu kali lebih sakit daripada
ketika aku masuk tadi. Semuanya sudah selesai sekarang, tidak ada yang bisa
dipertahankan lagi.
Aku berjalan gontai menyusuri taman yang
terpampang dihalaman rumah ini dengan pandangan kosong. Aku tidak tahu dimana
aku berada sekarang, aku tidak membawa dompet maupun handphoneku, dan kurasa
tempat ini jauh dari mana-mana. Tapi apa peduliku? Toh aku harus tetap berjalan
menjauh dari rumah itu, yang kubutuhkan sekarang adalah sedikit keajaiban agar
aku bisa pulang kembali keapartemenku setidaknya dengan keadaan utuh.
Angin musim gugur kembali menggelitiki
tubuhku. Aku teringat, aku hanya memakai piyama tipis satu lembar yang tidak
mungkin dapat menahan udara dingin yang berlomba menyerang tubuhku. Sandal
kamarku juga sudah tidak membantu banyak. Ada rusak dibeberapa titik karena aku
terus memaksakan langkahku dijalan berbatu ini sehingga menyebabkan udara dingin
lolos menjamahi kakiku, hingga nyeri akibat terantuk meja tadi semakin terasa.
Aku mendongakkan wajahku dan menatap langit
malam. Disini bintang terlihat lebih bersinar terang. Kurasa selama dinegara
ini baru kali ini aku dapat melihat bintang dengan lebih jelas. Bintang berada
pada tingkat kecerahan maksimalnya, ada beberapa rasi yang kukenali.
Kuperkirakan ini sudah pagi, mungkin pukul tiga pagi? Dan aku masih berkeliaran
dijalan dengan wajah berantakan? Oh kuharap ada petugas keamanan keliling yang
menemukanku disekitar sini dan membawaku pulang kembali, setidaknya kantor
polisi akan terasa lebih hangat daripada diluar sini.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berjalan
menyusuri jalanan bebatuan dengan banyak sekali kerikil tajam ini, namun
secercah harapanku muncul ketika kutemui sebuah bangku panjang yang terlihat
seperti halte sementara. Entahlah, apakah akan ada bus yang beroperasi saat
dinihari seperti ini, tapi aku akan menungu.
Aku mendudukan tubuh lelahku dihalte ini,
hampir tidak ada keringat yang keluar dari tubuhku, udaranya terlampau dingin.
Gigiku bergemelutuk menahan dingin, kurasakan nyeri disekitar pergelangan
tanganku telah berubah menjadi pegal yang luar biasa dan menjalar hampir
keseluruh permukaan tubuhku. Bermuara pada hatiku yang semakin menyesak dan
terasa sakit.
Kurasakan airmataku meleleh begitu saja. Hari
ini aku sudah dua kali melanggar janjiku sendiri. Aku menangis lagi, dan kenapa
alasannya karena pria brengsek itu lagi? Aku menghela nafasku yang serasa makin
sesak akibat tangisku. Rasanya jantungku terlalu berulah dalam rongga sempit
itu malam ini.
Aku menekuk kedua kakiku keatas dan
menelungkupkan wajahku diantara kedua lututku. Berusaha mencari sedikit
kehangatan dan kenyamanan ditengah dingin yang sangat mencekam. Kurasa kakiku
sudah kram dan mati rasa, mungkin jari-jarinya sudah membeku dibawah sana.
Mungkin jika besok ada yang menemukanku telah terbujur kaku ditempat ini,
mungkin itu adalah satu-satunya kesempatanku untuk pulang. Pulang kerumah yang
nyaman, dimana didalamnya terdapat Eomma dan Appa-ku yang selama hampir enam
belas tahun ini tidak kutemui. Pulang kesurga?
Aku menghentikan pikiran-pikiran anehku
ketika aku mendengar suara deru mesin mobil yang mendekat. Secercah harapan
muncul untukku. Namun dalam lubuk hatiku yang paling kecil, tetap terselip rasa
takut dan was-was. Bagaimanapun juga aku masih trauma dengan peristiwa
penyerangan para pria berandal itu.
Kudengar suara mobil itu berhenti tepat
dihadapanku, dan suara pintu yang dibanting keras membuatku terlonjak. Mau
tidak mau aku mendongakkan wajahku, melihat siapa orang yang datang. Dan hatiku
mencelos ketika mendapati wajah itu lagi. Itu wajah Cho Seung Joon. Aku tidak
ingin melihatnya sekarang.
Aku ingin segera pergi dari tempat ini, tapi
aku ingin kemana? Aku tidak yakin dapat menemukan tempat yang lebih baik daripada
disini setelah ini. Otak dan hatiku masih berdebat tentang kemungkinan untuk
kabur dari hadapan pria ini, perlahan aku menurunkan kedua kakiku. Aku mulai
beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Namun suara baritonnya kembali menyapa
gendang telingaku, hingga aku menghentikan langkahku sejenak. Mungkin ia ingin
melanjutkan perdebatannya tadi? Oh, terserah!
“Berhenti bertingkah bodoh dan membuatku
cemas,” ucapnya terdengar tenang dan dalam. Jenis nada bicara yang menurutku
tidak pernah ia tujukan untukku.
Aku merasakan sesuatu yang hangat menempel
dipunggungku. Dan kalian tahu itu apa? Itu jaketnya, apa dia berniat
memberikannya untukku? Oh, ayolah itu tidak akan meluluhkan hatiku! Maaf tapi
sepertinya hatiku berbohong, ia sedang bersorak gembira didalam sana, bodoh
sekali dan menggelikan.
Aku hanya menghela nafas kasar dan kembali
melangkah kali ini berbalik mendekati bangku. Aku mengambil jaket itu dan
meletakkannya dibangku tadi dan beranjak lagi. Tidak ada gunanya berdebat lagi,
toh semuanya sudah berakhir. Ini tidak akan merubah apapun.
“mau kemana kau?” tanyanya jengkel, menaikkan
nada bicaranya menjadi tinggi dan ketus. Ini adalah dia yang sebenarnya, nada
bicara yang selalu ia gunakan padaku. Aku berhenti lagi, sebentar.
“kemana saja, asal tidak ada kau ditempat
itu,” Jawabku tanpa menoleh.
Aku sudah beranjak lagi tapi tangannya
kembali mencekal pergelangan tanganku. Oh ayolah, kasihan pergelangan tanganku,
besok ia harus bekerja untuk mengetik beberapa laporan dilab.
“sebegitu inginnya kah kau pergi dariku, hm?”
nada bicaranya melembut dan dalam satu sentakan dia memelukku dari arah
belakang. Dalam keadaan normal mungkin hatiku sudah bersorak bahagia. Oh baikalah,
iya sekarangpun hatiku tengah bersorak bahagia. Sial, kenapa aku bisa sebodoh
ini?
Nafasnya kembali berhembus, menggelitiki
permukaan leherku yang tak tertutup kerah piyamaku. Dia mengeratkan pelukannya
disekitar perutku.
“sebegitu membencinyakah dirimu padaku?” aku
merasakan sesuatu yang basah dan hangat menyentuh pundak belakangku.
Dia terisak? Apakah dia sedang menangis?
Apakah ini triknya agar aku tidak jadi menceraikannya? Aku ingat, dia akan sah
menjadi pewaris perusahaan keluarga setelah dapat memberikan cucu. Dan sialnya
anak itu harus keluar dari rahimku. Pantas saja pria ini mau menungguku begini
lama, ini semua untuk karirnya begitu? Aku sudah tidak tertarik, ini akan
membuatku semakin sesak.
Aku melepas paksa tangannya yang melingkar
diperutku. Aku sudah tidak ingin bertahan dengan pernikahan ini lebih lama
lagi. Aku harus segera mengakhirinya atau aku akan mati perlahan karena cinta
yang tak terbalaskan. Entah mengapa
sekelebat bayangan wajah Min Woo yang terluka karena cintanya padaku yang tak
terbalas memberondong masuk kedalam alam sadarku.
Mungkin dia juga merasakan apa yang
kurasakan. Hatiku mencelos, aku sama saja dengan pria yang berdiri dibelakangku
ini. Aku brengsek karena menyia-nyiakan perasaan tulus dari seorang pria
seperti Min Woo. Entah mendapat kekuatan darimana aku hanya mengikuti instingku
untuk berlari.
Saat ini yang kubutuhkan adalah Min Woo. Dia
yang selalu ada untukku. Ya, aku hanya ingin melihat wajahnya tersenyum. Memastikan
esok hari ia akan tersenyum cerah seperti hari-hari sebelumnya. Aku hanya ingin
melihat senyumnya.
Kurasakan Seung Joon mengejarku. Dia membalik
paksa tubuhku dan omo~ dia membopongku secara paksa masuk kedalam mobilnya.
Kurasa dia sudah gila.
“Ya! Apa yang kau lakukan? TURUNKAN AKU!!!”
Teriakku sambil memukul-mukul punggungnya yang tepat berada didepan wajahku.
Dia menahan tubuhku dipundaknya dan posisiku sangat mengenaskan. Darah serasa
berlomba mengalir menuju kepalaku, dan kurasa aku mulai mual.
“Kita selesaikan semuanya secara cepat, dan
mungkin kau tak kan pernah menyesali apa yang akan menimpamu hari ini!”
Aku merasakan seringaiannya. Aku kalut, ngeri
dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpaku nanti. Aku mencoba berteriak
memanggil nama Min Woo dalam hati. Aku mulai terisak lagi, aku menangis lagi.
Kali ini bukan karena cinta yang tertangguhkan. Tapi karena aku terlalu takut
menghadapi pria ini.
000ooo000
Aku tidak mengenal sosoknya hari ini. Dia
bukan Cho Seung Joon yang selama ini kulihat. Dia membabi buta, memaksakan
setiap keinginanya padaku. Aku kembali menjerit kesakitan saat dia kembali
menamparku, dia bersiap-siap melepas sabuk dari celananya dan aku hanya dapat
menatap ngeri. Posisiku sangat mengenaskan, dia mengikatku dikursi ruang makan,
dan sebagian tubuhku sudah memar dan lebam dibeberapa titik akibat pukulannya.
Aku hanya mampu berdoa dan berharap Min Woo
mau menolongku sekarang.
“Kau pikir seberapa hebatnya dirimu hingga
mencoba kabur dari hidupku, HUH?” dia kembali menyemburkan suaranya didepan
wajahku. Aku semakin ketakutan.
Kurasakan panas dan perih menjalari pahaku
ketika suara kulit ikat pinggang itu mendarat disana. Ini kekerasan. Aku bisa
menuntutnya, apa dia bodoh?
“setidaknya berikan aku bayi dari rahim
sialanmu itu dulu, lalu kau boleh pergi dengan pria manapun sesukamu!”
Ya Tuhan, ucapannya kali ini benar-benar
keterlaluan. Aku hanya mampu menangis dalam diam. Aku sudah tidak peduli dengan
harga diriku, aku hanya ingin menangis dan Min Woo akan datang menyelamatkanku.
Oh kemana pria itu? Brengsek!
Aku terkesiap saat tangannya membelai pipiku.
Awalnya lembut sangat lembut namun
tiba-tiba ia mencengkeramnya kasar dan membuatku kesakitan.
“Ahh~” rintihan itu lolos dari mulutku saat
kurasakan remasannya dipipiku semakin mengeras. Satu hal yang aku tahu pria ini
sudah gila. Aku mencoba menggeleng-gelengkan kepalaku agar dia melepas
cengkeramannya. Namun ia malah semakin memajukan wajahnya dan dia tersenyum
mengejek.
“Akan kubuat kau menyesal karna meminta cerai
dariku! Selamat datang dineraka yang telah kau ciptakan sendiri, Nyonya!”
“ah ya, siapa namamu? Haruskah aku
memanggilmu Nyonya Cho? Seperti itu? bukankah itu impianmu sejak dulu? Baiklah
nyonya Cho, selamat bersenang-senang! Hahahahaha,”
Apa? Nyonya Cho? Mungkin wajahku akan
seketika memerah jika saja itu ia lakukan enam bulan yang lalu saat pertama
kali kami menikah. Sekarang bahkan aku tak sudi dipanggil seperti itu.
“Heii, dimana mulutmu? Apa suaramu sudah
hilang? Kau tidak ingin memberontakku seperti tadi saat pertama kali masuk
kerumah ini? Atau mungkin kau terlalu senang karena impianmu telah terwujud
dengan aku memanggilmu sebagai Nyonya Cho?”
Dan dia menamparku lagi. Tapi aku sudah tidak
dapat merasakan sakitnya. Tubuhku sudah kebas, mati rasa.
“Kau punya permintaan terakhir sebelum
upacara pengesahan dirimu menjadi seorang Nyonya Cho?” dia mendonggakkan
wajahku agar melihatnya yang kini tengah tersenyum menyeringai, lebih mirip
orang sakit jiwa.
Aku mengumpulkan sisa tenagaku, menyuarakan
isi hatiku sebelum kesadaranku benar-benar hilang. Aku menarik nafas pelan,
menikmati setiap udara yang merasuk kedalamnya.
“Oppa,..” kurasakan tangannya yang kini
tengah mengenggam tanganku bergetar karena aku mengucapkan kata-kata itu. aku
terbatuk kecil, merasakan sesak diparu-paruku.
“Min Woo Op..pa, tolong ak...ku,” aku merasa
seperti dipukul godam saat berhasil mengatakan kalimat terakhir itu. Aku
merasakan air mataku meleleh, ada banyak ribuan cahaya yang menyerbu masuk
mataku secara bertubi-tubi. Ada suara dengung panjang yang memekakkan telingaku
dan aku tidak dapat merasakan apa-apa lagi. Kuharap aku sudah mati dan akan
segera bertemu dengan kedua orangtuaku.
000ooo000
Aku terbangun ketika cahaya yang menyilaukan
menimpa wajahku. Bau obatan-obatan yang menerjang indra penciumanku
mengantarkanku pada satu kenyataan, aku masih hidup. Aku menggeliat pelan dan
menoleh kesamping mendapati wajah kuyu Min Woo disana. Ia menatapku iba.
“Heii, kau sudah bangun? Apa kau tidak
merindukanku? Kau lama sekali tertidur,” dia mengerucutkan bibirnya, lucu
sekali.
Kulihat sudut bibirnya memar. Aku ingin
sekali menangis dan memeluknya saat ini. Aku ingin memakinya karena tidak
datang disaat aku menyebut namanya. Aku ingat janji konyolnya saat hari pertama
aku berada di New York.
“Jika kau butuh bantuanku,
pejamkan matamu dan sebut namaku tiga kali, kupastikan aku akan berada
dihadapanmu secepat yang aku bisa,” dia mengucapkannya dengan wajah
bersungguh-sungguh dan aku hanya tertawa meremehkannya waktu itu.
“apa aku juga harus menghentakkan
kakiku ketanah dan seketika abrakadabra kau akan muncul didepanku, begitu?
Hahahaha” aku terkekeh, dia terlalu banyak menonton cerita fantasi.
“aku serius Dong Kyo-ya!
Sekali-sekali kau bisa mencobanya,” ucapnya serius.
Aku tahu, itu selalu berhasil karena setiap
hari aku melakukannya, dan tanpa kutelepon dia sudah ada dihadapanku.
Aku hanya mampu tersenyum lemah melihat
tingkahnya seperti itu. aku ingin mengeluarkan suaraku, namun dia sudah
menggelengkan kepalanya. Menahanku agar tidak bergerak sedikitpun ataupun
berucap sepatah katapun.
“aku panggilkan dokter dulu,” dia ingin
beranjak pergi namun seketika kutahan tangannya.
“baiklah, aku tidak akan lama. Jadi
bersikaplah manis sebentar saja, okey?” aku tahu ia sedang membujukku dan aku
tidak suka.
Aku memasang wajah jengkelku, dan dia hanya
mengacak rambutu pelan dan tertawa. Dia tetap beranjak dan memanggil dokter.
Aish~ menyebalkan!
000ooo000
“Untuk sementara ini akan lebih baik kalau
kau tinggal bersamaku dulu, aku perlu mengawasimu!” Well, Choi Min Woo yang
menyebalkan sudah kembali.
“Kau kularang bekerja part-time. Aku juga
tidak akan melakukannya lagi. Akan lebih baik jika kau fokus pada kuliahmu dan
cepat menyelesaikannya. Kau mengerti?” Huh, wajahnya yang sok tua itu, aku
membencinya.
“Yak! Kenapa kau malah mengerucutkan bibirmu
seperti itu? kau harus menerima semua ini dan aku tidak suka penolakan! Jadi
bersikap manislah adik kecil,” dia tersenyum. Senyum yang selalu kurindukan.
“Oppa, kurasa kau berubah banyak. Apa ada
sesuatu yang coba kau sembunyikan dariku?” dia hanya tersenyum seklias dan
menggeleng.
Ini hari terakhirku dirumah sakit setelah
seminggu yang lalu aku sadar. Waktu itu aku berkeras untuk keluar dari rumah
sakit dan mengurus risetku yang pastinya tercecer tak karuan. Dan kalian pasti
sudah bisa menebak bukan? Benar sekali, Min Woo memarahiku habis-habisan dan
aku tidak berani mengajaknya bicara setelahnya.
“kau
berubah Oppa, kau membenciku?” kurasakan mataku memanas. Belakangan aku menjadi
sangat cengeng didepannya, kurasa.
Dia hanya menggeleng dan memapahku turun dari
ranjang rumah sakit ini.
“jangan terlalu sensitif Dong-ie ya! Kau
seperti nenek-nenek saja!” ucapnya kalem bermaksud menggodaku.
Aku tahu, ada yang ia coba sembunyikan
dariku. Aku hafal sekali gelagatnya.
“Oppa?” panggilku dan dia menoleh kearahku.
“Bolehkah aku memelukmu?” ucapku pelan. Aku
melihatnya, dia tampak ragu dan berpiki sesaat, namun akhirnya dia mengangguk
juga.
Aku segera berlari kedalam pelukannya,
tanganku melingkar sempurna dipinggangnya.
“Oppa, Bogoshipo~” ucapku terisak.
Dia tidak membalas, hanya memelukku lebih
erat. Aku tenggelam dalam dada bidangnya. Dadanya bergemuruh, kurasakan dia
mulai menundukkan wajahnya diantara leher dan pundakku. Kurasa dia menangis
lagi. Laki-laki ini terkadang terlihat cenggeng dan kekanakan. Tskk.
“kau harus berjanji padaku Kyo-ya! Kau akan
hidup dengan lebih baik setelah ini. Mau berjanji?” aku melihat matanya sembab.
Aku menganggukkan persetujuan tanpa bantahan sedikitpun.
“Kajja~ kita harus segera pulang. Kau tidak
rindu dengan apartemenmu, eoh?” dia sudah tersenyum lagi. Dan untuk saat ini,
biarkan aku merasakan sedikit kebahagiaan ini, kebahagian yang menurutku takkan
bertahan lama. Secepat datangnya, secepat itu pulalah ia akan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar