“selamat jalan, Kyo-ya! Jaga kesehatanmu, ne?
Jangan tidur larut,” ucap Nyonya Cho saat mengatarkan putrinya itu ke bandara
Incheon.
“ne eomma. Aku akan sering-sering
mengirim email untuk eomma. Jaga kesehatan eomma, ne? Hyunra-ya! Jaga eomma
baik-baik, ne?” ucap Kyo dengan senyum yang dipaksakan.
“ne, eonnie. Aku akan menjaga
eomma dengan baik. Serahkan padaku! Aku akan menyusulmu semester depan Eonnie.”
Ucap Hyunra semangat.
“ne, aku akan menunggumu.” Ucap
Kyo sambil menepuk pundak Hyunra.
“kau tidak menungguku?” ucap
seorang namja yang sontak membuat ketiga wanita itu menoleh.
“oppa?” desis Kyo tak percaya.
“kau tidak menunggu suamimu ini,
eoh?” tanya Joon lagi.
“ah~ kurasa kalian harus bicara
berdua, kami pergi dulu, ne?” ucap Nyonya Cho yang kemudian menyeret paksa
Hyunra yang terlihat enggan meninggalkan Kyo.
“kau? Bukannya ada rapat, Oppa?
Kenapa bisa disini? Cepatlah kembali!” ucap Kyo berusaha menutupi
kebahagiaannya karna mengetahui Joon menyusulnya kebandara.
“rapatnya ditunda, chagi-ya!”
ucap Joon dengan senyum tulus.
Tiba-tiba Joon menarik Kyo
kedalam pelukannya. Kyo hanya dapat berdiri mematung, tanpa reaksi sedikitpun.
“cepatlah pulang, aku menunggumu
disini, Chagi-ya! Saranghaeyo..” kata-kata terakhir itu menghantam alam sadar
Kyo. Ia cepat-cepat mendongakkan kepala untuk meneliti ekspresi suaminya itu.
“ne?” gumam Kyo tak percaya.
“aku mencintaimu, Kyo-ya! Aku
akan menuggumu disini,”
“kau hanya kuberi waktu satu
setengah tahun, kalau kau tidak pulang-pulang aku akan menculikmu dari sana,”
Ucap Joon dengan seringai nakal.
“bukankah kau? Bagaimana dengan
Eunbin?” tanya Kyo masih bertahan dengan logikanya.
“bisakah kita tidak membicarakan
orang lain? aku ingin membuat kenangan yang indah bersama istriku sebelum
meninggalkanku untuk setahun kedepan,” ucap Joon lagi.
“kau? Apa kau keracunan oppa?
Salah makan?” tanya Kyo khawatir. Gadis itu masih menganggap Joon membencinya
dan hanya mencintai Eunbin.
“yak! Aku sehat! Kau yang
meracuni hidupku, gadis jelek! Cepatlah pulang, atau aku akan menyeretmu dengan
paksa untuk kembali kesini,” ucap Joon lagi.
“kau... kau mencintaiku, oppa?”
tanya Kyo lagi tak percaya yang menyisakan sebuah wajah konyol Kyo.
“apa aku harus mengulanginya
lagi? AKU MENCINTAIMU, gadis BODOH!” teriak joon sambil menarik Kyo kedalam pelukannya
lagi.
“saranghae...” bisik Joon
ditelinga kiri Kyo, tepat saat pegumuman keberangkatan pesawat Kyo terdengar.
“ne, Oppa. Saranghaeyo..” ucap
Kyo yang kemudian melepaskan pelukan pria itu dan menuju keruang pemeriksaan
tiket.
Gadis itu menoleh kebelakang
sebentar, menatap suami yang selalu ia cintai itu. Gadis itu melambaikan
tangannya pada Joon, yang dibalas oleh Joon dengan bersemangat.
000ooo000
Aku terbangun dari tidur nyamanku ketika
kurasakan suara Eomma mengusikku. Ternyata hanya mimpi. Aku masih terduduk
dibangku penumpang mobil keluargaku ketika aku membuka mata.
“Dong Kyo-ya, kau tertidur? Lanjutkan nanti
dipesawat, sekarang kau harus bergegas.” Ucap Eomma lembut sambil menarik
tanganku keluar memasuki bandara.
Ahh~ betapa akan sangat menyenangkan jika
semua itu bukan hanya terjadi dalam impianku saja. Sepertinya aku terlalu
banyak menonton drama picisan. Sekali lagi aku tersenyum miris, memandang ibu
mertua dan adik iparku bergantian. Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan? Aku
tidak akan dengan lancangnya berharap laki-laki itu akan datang kesini,
setidaknya untuk memastikan aku akan benar-benar pergi dan tak akan kembali
bukan? Tidak kurasa dia tak sekejam itu.
Baiklah sepertinya aku harus segera pergi,
pesawatku akan tinggal landas dalam waktu beberapa menit lagi. Aku kembali
memeluk Eomma, ibu mertuaku dan adikku ini, Hyura dengan penuh sayang. Bagaimanapun
juga aku tidak akan melihat mereka dalam jangka waktu yang lama. Aku harus
memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya bukan?
“selamat jalan, Kyo-ya! Jaga kesehatanmu, ne?
Jangan tidur larut,” ucap eomma untuk terakhir kalinya.
“ne eomma. Aku akan sering-sering mengirim
email untuk eomma. Jaga kesehatan eomma, ne? Hyunra-ya! Jaga eomma baik-baik,
ne?” ucapku dengan senyum yang kupaksakan.
“ne, eonnie. Aku akan menjaga eomma dengan
baik. Serahkan padaku! Aku akan menyusulmu semester depan Eonnie.” Ucap Hyunra
semangat.
“ne, aku akan menunggumu.” Ucapku sambil
menepuk pundak Hyunra.
Ini seperti de Javu saja, tapi aku tahu de
javu ku takkan berlanjut sampai ketika suamiku tersayang itu datang dan
melepaskan kepergianku. Suara peringatan terakhir tentang pemberangkatan
pesawatku telah terdengar sekali lagi dan dengan berat hati segera kuseret
paksa koper-koperku sambil tersenyum miris. Kurasa aku sudah selesai sampai
disini. Dia benar-benar tidak datang. Ah~ laki-laki itu, dari sekian banyaknya
laki-laki dimuka bumi ini, kenapa harus dia yang menjadi suamiku? Kurasa
kehidupan pernikahanku sudah selesai sampai disini.
000ooo000
Aku baru saja menjejakkan kakiku lagi di
NewYork ketika kurasakan sebuah tangan mendarat dipundakku. Saat aku menoleh
kearah tangan itu betapa terkejutnya aku ketika kudapati seseorang tengah
tersenyum ramah didepan apartemen baruku.
“Dong Kyo-ya, Anyeong!” suara berat seorang
laki-laki mengusik pendengaranku.
“Oh, Min Woo Oppa? Kau? Bagaimana kau..
kenapa kau bisa ada disini?” tanyaku terbata. Ku akui aku cukup terkejut
melihat kehadirannya yang tiba-tiba seperti ini.
“tentu saja. Aku akan kuliah di Columbia
University, aku didepartemen Teknik Lingkungan dan Tata Kota,” terangnya sambil
tersenyum cerah.
“oh, jaadi kau memutuskan untuk mengambil
program mastermu disini juga, Oppa? Daebak! aku didepartemen Fisika,” jawabku
seadanya menjelaskan dengan mata berbinar.
“hei, kapan kau tiba, Oppa?” Tambahku lagi.
“seminggu yang lalu, banyak hal yang harus ku
urus dan yah kau tau sendiri semua persiapan ini membuatku hampir gila,” Min
Woo terlihat mengerang Frustasi.
“ah, ya. Kurasa kau terlalu berlebihan.
Nikmati saja prosesnya Oppa!” ucapku menghibur.
“kau takkan mengatakan hal seperti itu lagi
jika kau telah merasakan betapa menyakitkannya sebuah proses.” Ucapnya
sakartis.
“baiklah, aku akan mencari tahu seberapa
sakitnya, Oppa!” ucapku kalem.
“Kamarku, ada disebelah sana, persis
disamping kamarmu.” Tunjukknya lagi pada sebuah kamar yang ada disebelah kiri
kamarku. Aku mengernyit bingung dan tersenyum jahil, menggodanya sedikit tidak
apa-apa kan?
“Eum, jadi setelah kupikir-pikir, apa kau
mengikutiku, Oppa?” ucapku dengan senyum terkulum.
Kalian tau? Min Woo adalah laki-laki pertama
yang dekat denganku setelah aku beranjak dewasa, dan hanya didepannyalah aku
bisa dengan bebas menjadi diriku sendiri. Sang Chu tentu saja tidak masuk
hitungan karena dia memang dekat denganku sejak kecil. Sang Chu adalah tipe
pria yang paling menyebalkan yang pernah kutemui, tapi tetap saja tidak lebih
menyebalkan daripada suamiku yang bodoh itu, Cho Seung Joon. Ah, mengingat
namanya saja sudah membuat hatiku sakit begini. Sudahlah, lupakan dia Choi Dong
Kyo. Mengenaskan.
“Cih, yang benar saja. Kau ini lucu sekali,”
tanggapnya santai, namun aku melihat dia sedikit gugup.
“baiklah, dan yah, apa kau mau masuk?
Setidaknya kau bisa membantuku membereskan barang-barangku?” kekehku, sebelum
memasuki apartemen baruku. Kurasa ini akan menjadi tempat tinggal permanenku
karna yah, kurasa aku sudah tidak mempunyai alasan untuk pulang ke Korea lagi
setelah ini.
“aih~ kau ini selalu saja bisa memanfaatkan
kesempatan untuk meminta tolong pada pria-pria sepertiku. Jenis pria yang tak
akan tega melihat seorang gadis cantik meminta bantuan” ucap Min Woo panjang
lebar namun tetap masuk sambil menyeret koper bawaanku.
“hahaha, kau yang terbaik Oppa!” pekikku,
sengaja kulebih-lebihkan.
000ooo000
Sudah enam bulan aku menjalani kehidupan
baruku di New York sebagai seorang mahasiswa. Kuliah pada program master ini
membuatku sedikit kewalahan, tugas yang menumpuk, beberapa penelitian yang
harus segera diselesaikan dalam waktu singkat, semuanya menuntut kerja cepat
dan tepat.
Terkadang karena terlalu padatnya jadwalku,
aku jadi lupa makan. Namun aku beruntung mempunyai sahabat seperti Min Woo. Dia
sangat perhatian terhadapku. Ditengah malam saat aku sedang berkutat dengan
tugas-tugasku, dia akan dengan senang hati datang dan membawakanku makanan,
memastikan aku memakannya sampai tandas kemudian dia akan beranjak pergi
meninggalkanku bersama tugas-tugasku.
Belakangan aku jarang bertemu dengannya karena
aku juga harus kerja part-time untuk menunjang biaya hidupku yang makin menggila.
Aku bekerja disebuah kafe yang letaknya tak jauh dari kampusku, hanya sepuluh
menit berjalan kaki untuk sampai kesana. Saat pagi sampai sore aku berada
dikampus, dan malamnya aku bekerja
beberapa jam dikafe tersebut. Gajinya memang tak bisa untuk membeli tas
wanita keluaran terbaru, tapi setidaknya ini cukup untuk makan dan membeli
buku-buku penunjang perkuliahanku.
Min Woo juga melakukan part-time sekarang.
Ini terjadi sekitar sebulan yang lalu dimana pada malam sebelumnya aku tengah
dihadang oleh beberapa pria mabuk yang ingin mencoba menyelakaiku. Tapi entah
bagaimana ceritanya, akupun tidak ingat karena tiba-tiba saja Min Woo sudah ada
disana dan menolongku.
Jika di drama telenovela yang sering kulihat,
setelah menolong gadis maka seorang pria akan berlaku lembut pada sang gadis
agar gadis itu merasa terlindungi, tapi yang dilakukan Min Woo padaku hampir
membuatku frustasi. Dia memarahiku habis-habisan malam itu, dan esoknya
kutemukan dia bekerja sebagai bartender di sebuah Club malam yang letaknya
hanya berjarak satu blok dari kafe tempatku bekerja.
Tapi belakangan kudengar gadis yang sering
bersamanya akhir-akhir ini juga bekerja disana, jadi kupikir aku tau apa
maksudnya. Bahkan dia tidak bekerja part-time pun kurasa uang sakunya itu masih
bisa untuk membeli mobil sport keluaran terbaru. Dasar pria sok romantis,
menyiksa diri sendiri hanya untuk mendapatkan perhatian dari seorang gadis. Aku
memang tidak pernah mengerti jalan pikiran pria, karena aku bukan pria.
000ooo000
Harusnya pagi ini aku akan menjemput adikku
tercinta, Cho Hyun Ra yang berjanji akan menyusulku setelah dia lulus program
sarjana-nya. Tapi apa ini? Dia malah memutuskan untuk menetap di Korea karena
tiba-tiba saja Sang Chu melamarnya! Aish~ benar-benar gadis yang labil.
Hari ini jadwal kuliahku kosong, aku hanya
ada janji menemui dosenku sebelum jam makan siang disebuah Restaurant yang
cukup mewah. Tentu saja dosenku itu tidak akan mengajakku makan siang bersama.
Dia akan ada rapat penting yang membahas tentang penemuan terbaru dari
departemen kami dengan beberapa lembaga penelitian terkemuka dinegara ini
selama dua minggu penuh, jadi aku hanya diberi waktu setengah jam untuk
mengurus keperluanku.
Sebenarnya tidak terlalu banyak urusanku,
hanya meminta tanda tangan sebagai bukti persetujuan penelitian, surat
peminjaman alat dan tempat serta mendiskusikan beberapa hasil sementara yang
telah kudapat sebagai kajian awal saja. Dan ternyata lima belas menit sudah
cukup untukku mendapat beberapa saran dan masukan. Kurasa penelitianku kali ini
akan berjalan lancar karna semua berkas yang kubutuhkan sudah ditanda tangani.
Aku tengah berjalan menyusuri lorong-lorong
Restaurant ⎼karena ini adalah jenis restaurant VIP yang
terdiri dari ruang-ruang makan terpisah dan tertutup, jadi kau bisa lebih
leluasa untuk makan sambil melakukan rapat dan sebagainya⎼ ketika
kurasakan handphoneku bergetar dari dalam tas. Ini sudah hampir tiba jam makan
siang dan aku tau, siapa orang yang menelponku tanpa melihat id pemanggilnya.
Aku tersenyum sekilas dan mengangkat panggilan itu,
“waeyo?” tanyaku langsung tanpa mengucapkan
salam terlebih dahulu.
“kau dimana? Bagaimana urusanmu dengan
dosenmu itu? sudah selesai?” Tanya suara diseberang sana tak sabaran, ini suara
Min Woo.
“Eum, sudah. Kau sudah lapar?” Tanyaku lagi.
Ini lah kebiasaannya, dia takkan makan siang sebelum menemukanku duduk manis
didepan meja makannya dan menungguinya untuk makan. Dasar manja, apa dia tidak
pernah berpikir berapa usianya? Seperti anak TK saja.
“Eoh. Aku sudah didepan Restaurant ini, jadi
cepatlah keluar!” ucapnya ketus.
“Kenapa tidak masuk saja? Kurasa kau tidak
akan bangkrut hanya dengan menraktirku makan disini sekali,” godaku lagi. Tapi
aku memnag tidak bercanda dibagian bangkrutnya, dia sangat kaya raya.
“kalau kau mau jadi istriku, setiap hari kau
akan makan disini,” timpalnya santai. Aku tau pasti dia sedang menahan tawanya
diseberang sana.
“hei, kau pikir aku gadis tujuh belas tahun
yang mukanya akan langsung memerah ketika disodori pernyataan seperti itu? maaf
saja, itu bukan aku!” jawabku ketus, dan aku sempat mendengar tawa
menggelegarnya sesaat sebelum kumatikan telponku.
Benarkan? Dia juga menyebalkan, dan pelit
tentunya. Jenis pria yang akan susah mendapatkan jodohnya, kurasa. Hahahaha
rasakan kau, Choi Min Woo bodoh.
Aku sedang terkikik dengan pemikiranku
tentang Min Woo sambil memasukkan kembali handphoneku kedalam tas, hingga aku
tak sengaja menabrak orang yang berdiri didepanku.
“Oh, Sorry, Sir!” ucapku sambil membungkuk
dalam. Kebiasaanku sebagai orang Korea memang sulit sekali terlepas dariku.
Aku baru akan mengangkat wajahku, namun
handphoneku sudah berbunyi lagi, jadi aku membungkuk sekali lagi, dan sekilas
aku seperti mengenal sosok yang tengah berdiri didepanku ini, haruskah aku
menatap wajahnya untuk memastikan bahwa yang berdiri didepanku sekarang adalah
suamiku? Apa aku terlalu merindukannya hingga aku terbayang oleh sosoknya? Lucu
sekali, bahkan aku hampir lupa kalau aku sudah bersuami. Kami tak pernah
berhubungan satu sama lain sejak aku pergi kesini, entahlah, apa dia masih sudi
menganggapku istri atau tidak, aku sudah tidak terlalu memikirkannya.
Aku merasa dia memandangiku, aku dapat
merasakan aura tajam disekitarku. Namun aku kembali ingat pada pesan masuk di
handphone-ku. Dan aku kembali berjalan keluar restaurant tanpa menoleh lagi
pada orang yang kutabrak tadi. Biar saja aku dikatai tidak sopan, kami tidak
saling mengenal dan lagi pula aku sudah meminta maaf, tidak akan ada tuntutan
yang datang padaku karena aku menabrak seseorang saat berjalan kan? Konyol
sekali.
000oo000
“hari ini kau mau makan apa, Oppa? Jangan
ditempat yang ramai karna pasti akan lama sekali mengantrinya, aku sudah
ditunggu temanku.” Ucapku panjang lebar setelah masuk kedalam mobil Min Woo.
“baiklah, kita makan dikantin kampus saja.
Kau bisa menemui temanmu itu secepatnya setelah acara makan kita selesai,”
ucapnya kalem.
“kau pasti senang karena hari ini tak akan
mengeluarkan uang lebih banyak. Berapa mahal makanan dikantin dibandingkan
restaurant ini?” cibirku sambil menunjuk restaurant yang baru saja
kutinggalkan. Aku terlihat lebih matrealistis ketika bersamanya. Biarkan saja.
“hahaha, sudah ku bilang kau akan makan disini
kalau margamu berubah menjadi Choi,” ucapnya lagi sambil menahan senyumnya.
“ternyata aku benar-benar berteman dengan
orang bodoh. Kau lupa? Namaku CHOI Dong Kyo.” Ucapku penuh kemenangan.
“aish~ diwaktu seperti ini aku lebih
mengharapkan margamu adalah Cho, sehingga bisa ku ubah menjadi Choi,” ucapnya
lagi sambil memandang fokus jalan didepannya.
“terimakasih,kau tak perlu repot. Margaku
sudah Choi sejak lahir,” ucapku ketus dan ikut memandang ke arah jalan.
000ooo000
Tadi petang sebelum berangkat kekafe tempatku
bekerja, dosenku menelpon dan memintaku untuk mengambil beberapa berkas yang
harus segera kuserahkan kepada pihak universitas. Hari ini aku menemuinya di
sebuah hotel mewah bernama Grand Palace Hotel, tempat ini biasa digunakan untuk
acara mewah serta petemuan-pertemuan antar petinggi negara, entah untuk bisnis
atau membicarakan penelitian yang tengah dikembangkan dinegara ini.
Tak ada yang spesial untukku hari ini, aku
harus naik bus umum untuk sampai kehotel ini karena Min Woo harus bekerja. Sebenarnya
aku juga tidak ingin merepotkan dan bergantung terus padanya, tapi dia selalu
memaksa untuk mengantar dan menjemputku setiap kali aku ingin pergi kesuatu
tempat. Semua ini karena peristiwa yang kualami waktu itu, saat aku dicegat
para berandalan itu. sejak saat itu, kurasa dia semakin protective padaku.
Min Woo berpesan padaku agar menunggunya di
Lobby hotel sebelum dia datang pukul sembilan malam nanti, lima belas menit
lagi. Tak masalah pikirku. Aku merasa sedikit lapar dan aku bermaksud untuk memesan
makanan di restaurant yang terdapat dalam hotel ini. Aku tau harga cemilan atau
makanan ringan disini bahkan cukup untuk membeli persediaan makanku selama satu
minggu. Tapi kurasa tak masalah, hari ini aku berada dalam mood yang baik
karena hasil dari salah satu penelitianku tinggal menunggu untuk
dipublikasikan.
Langkahku seketika terhenti ketika aku
mendapati punggung orang yang sangat kukenal. Tentu saja aku sangat mengenal
punggung itu, gerak-geriknya, rambutnya, caranya berpakaian, semuanya, aku mengenal
itu semua. Dia suamiku. Ah ya, mungkin kalau dia masih menganggapku sebagai
istrinya, karena kulihat kini dia tengah berpelukan dan berciuman dengan mesranya
dengan seorang wanita. Aku tidak peduli siapa diantara mereka yang memulai.
Tapi yang jelas mereka sedang berciuman dan itu mereka lakukan didepan umum.
Kakiku terasa berat untuk sekedar kugeser
barang sesenti.Tulangku serasa dilolosi satu-persatu secara paksa dari tubuhku,
aku sudah tak mempunyai kekuatan lagi. Kurasakan udara disekitarku menipis,
terkikis habis. Seperti ada godam yang memukul-mukul jantungku. Rasanya nyeri,
dan sesak. Kurasakan mataku mulai memanas.
Apakah aku cemburu? Lucu sekali, aku cemburu
pada orang yang tak pernah menganggap keberadaanku. Benar-benar menyebalkan.
Aku sibuk dengan perasaanku sendiri yang terlalu mencintainya, tapi dia bahkan
tidak mau menerima sedikit saja perhatian dan cinta yang keberikan padanya.
Begitu banyak cinta yang telah kuberikan padanya dan dia membuang semua itu
begitu saja. Kurasa hatiku sudah mati karena cinta yang kupunya sudah kuberikan
semua untuknya, dan rasa itu tak pernah kembali padaku lagi karena dia telah
membuangnya entah kemana. Hatiku sudah berkarat dan mati.
Kurasa dia-suamiku- menyadari kehadiran
seseorang, dan secara paksa menghentikan adegan menjijikan itu. wajahnya
seketika menegang dan ia menatapku dengan tatapan yang entah aku sendiri sulit
untuk mengartikannya. Ini terjadi karena kurasakan mataku semakin memburam
karena airmata yang menggenang dipermukaannya. Entah mendapat kekuatan dari
mana, dengan sisa-sisa kesadaranku aku berbalik dan langsung keluar dari gedung
Hotel ini.
Aku melihat mobil Min Woo yang datang dari
kejauhan dan aku langsung menghentikannya. Tanpa menyapanya terlebih dulu aku
langsung masuk dan menundukkan kepalaku dalam. Untuk saat ini akan lebih baik
kalau aku diam dan tidak mengatakan sepatah katapun, karena itu bisa saja
membuat airmataku tumpah. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan
menangisi pria brengsek itu lagi. Seakan mengerti keadaanku, Min Woo memilih
untuk diam dan menyetir, membiarkanku meraih ketenangan dengan usahaku sendiri.
Ini salah satu alasan aku bersahabat dengannya, dia selalu mengerti akan
kondisiku.
000ooo000
“Dong-ie ya? Kau oke?” sapaan pagi
yang menjengkelkan yang kudapati pagi ini ketika membuka pintu apartemenku. Min
Woo sedang berdiri disana sambil memamerkan senyumnya yang memuakkan itu yang
menurutnya bisa menaklukan hati setiap gadis.
“simpan kembali senyummu yang menjijikkan itu
Oppa, aku tidak mau melihatnya!” ucapku ketus dan berjalan melewatinya menuju
lift. Apartemenku berada dilantai 15 kalau kalian ingin tau. Kurasaka Min Woo
mengekor dibelakangku.
“kau mau cerita? Atau aku yang bertanya?”
ucapnya lagi.
“tentang apa?” ucapku sambil memutar
bolamataku. Aku tahu, dia sudah mengetahui masalahku hanya saja dia pura-pura
tidak tahu. Menyebalkan.
“tentang.... semalam, mungkin?” ucapnya
hati-hati.
“kau tak perlu mendengarkan cerita yang sudah
kau ketahui, itu membuang waktumu saja, Oppa.” Ucapku dengan ekspresi datar,
semoga saja terlihat seperti itu.
“baiklah kuanggap kau oke,” Ucapnya mengalah.
Selama perjalan menuju kampus aku memilih
untuk diam dan tidak bicara sampai akhirnya suara Min Woo kembali mengusik
pendengaranku.
“bagaimana hubungan kalian?” ucapnya dengan
nada datar dan ekspresinya berubah menjadi serius.
“siapa? Kalian yang mana yang kau maksud?”
ucapku mulai jengah.
“kau dan suamimu. Selama enam bulan bersamaku
disini, aku tak pernah melihat wajah menderitamu seperti waktu di Korea dulu.
Ekspresi itu selalu kutemukan saat kau bertemu dengannya,” ucapannya
kini sedikit melembut.
“Dia
ada disini, Kalian sudah bertemu?” tanyanya lagi kali ini dia menepikan
mobilnya. Ia menatapku lurus.
Aku mengangguk. Pelan, dan nyaris tidak
terlihat seperti anggukan Memangnya apalagi yang bisa kulakukan? Aku tak pernah
tega membohonginya.
“tadi malam aku bertemu dengannya, di Bar
tempatku bekerja. Dia minum sangat banyak hingga sekertarisnya menarik paksa
untuk pulang,” cerita Min Woo tanpa kuminta.
Itu pasti Lee Ahjussi, dia memang terlalu
menyayangi pria brengsek itu.
“tadi malam, dia selalu menggumamkan sesuatu,
tidak jelas. Tapi terdengar seperti kata maaf ? aku sendiri tidak tahu.
Kalian bertengkar?”
Aku menggeleng.
“mungkin, kau ingin menangis? Menangislah
jika kau ingin. Jangan ditahan. Terkadang menangis bisa membuat perasaanmu jauh
lebih baik,” ucapnya lagi
“kupinjamkan bahuku untukmu, ini gratis!”
tambahnya cepat. Mendengar ucapan Min Woo membuatku ingin menangis. Dia sahabat
terbaik yang pernah kumiliki.
Aku kembali menggeleng. Aku sudah berjanji
pada diriku sendiri, aku takkan menangis lagi karena pria brengsek itu,
seberapa menyakitkannya perlakuannya padaku. Air mataku terlalu berharga hanya
untuk menangisi laki-laki seperti dia.
“jadi, kalian tidak bertengkar, tapi wajahmu
terluka dan dia menggumamkan kata maaf. Mungkin aku salah lihat, atau
setidaknya aku berharap sahabatku mau menceritakan masalahnya padaku. Kuharap kalian tidak
benar-benar bertengkar,” ucapnya lagi yang seperti menuduhku bertengkar denga
pria brengsek itu.
kurasa Min Woo mulai cerewet dan aku tidak
suka itu. dalam keadaan normal pasti sudah kusumpal mulutnya menggunakan kaos
kaki busuknya yang selalu ia simpan di dashboard mobilnya.
Tapi hari ini moodku sedang tidak baik dan
aku tidak mempunyai tenaga untuk melakukan itu semua sehingga pada akhirnya aku
lebih memilih menggunakan bahasa tubuh yang ringan saja.
Aku menghela nafasku lagi, kasar. aku mencoba
memasang ekspresi terbaikku.
“aku ingin makan eskrim, sekarang.” Ucapku
datar. Dan dia hanya mengangguk.
“sepertinya bolos sehari, tidak masalahkan?”
aku tahu ia mencoba menggodaku.
“aku tidak ada jadwal hari ini. Ini rabu.”
Ucapku masih dengan ekspresi datar.
“Omo~ kenapa aku lupa? Siang ini aku ada
presentasi bersama kelompokku.” Ucapnya dengan wajah ngeri. Aku hanya
mengendikkan bahuku.
“kau harus membantuku, hhm?” ucapnya lagi
dengan memasang tampang menyebalkan itu.
“sudah berapa kali kubilang? Simpan wajah
menyebalkanmu itu Choi Min Woo!” jeritku frustasi. Dan apa itu? dia malah tersenyum?
Lihatkan? Dia memang benar-benar menyebalkan. Jenis pria yang akan susah untuk
mendapatkan jodohnya. Rasakan.
“Aigoo~ Dong Kyo kami sudah kembali.” Ucapnya
dengan senyum kemenangan yang semakin membuatku muak.
“ Baguslah, aku tidak perlu membelikanmu
eskrim pagi ini! Kau pikir ini jam berapa? Seenaknya saja meminta eskrim dipagi
buta begini!” tambahnya lagi yang sukses membuat mulutku menganga lebar.
“Tidak usah membuat banyak alasan! Aku tau,
kau itu pelit! Aku juga tidak akan memintamu membelikanku eskrim. Kau pikir aku
tidak mampu untuk membeli eskrim sendiri?” Omelku panjang lebar.
“dan lagi Choi Min Woo. Ini sudah jam
sembilan dan kau bilang ini pagi buta? Kurasa kau masih tidur!” semburku lagi.
“ya! Berapa usiamu? Berani sekali kau
menyebut namaku seperti itu tanpa menggunakan ‘Oppa’!” Pekiknya tak terima.
“Arraseo Ahjussi, cepat pergi! Perpustakaanya
tak akan bukan jika kuncinya masih berada ditanganku!” ucapku ketus.
“aissh~ kau memang benar-benar menyebalkan!
Tipe yeoja yang akan sulit mendapatkan teman kencan!” Ucapnya sambil
mengerucutkan bibirnya. Dia buru-buru menoleh kearahku, menyadari arah
pembicaraannya. Tapi aku tidak ingin memperkeruh suasana hatiku.
“kau pikir berapa usiaku sampai aku harus
repot-repot mencari teman kencan? Kau tak pernah khawatir dengan dirimu
sendiri? Diusia begini tua kau pun tidak memiliki teman kencan!” ucapku dengan
nada kemenangan dan seringaian licik. Aku melihatnya, Min Woo menganga lebar.
“jangan membuka mulutmu lebar-lebar tuan, kau
terlihat bodoh dengan wajah seperti itu dan itu akan semakin menjatuhkan harga
pasaranmu. Dan mungkin saja kau benar-benar akan kesulitan untuk menemukan
teman kencan.” Tambahku lagi yang segera kususul dengan gelegar tawa yang
membahana memenuhi ruangan sempit mobil Min Woo.
“Yak! Choi Dong Kyo! Kau sudah bosan hidup,
huh?”
000ooo000
Dan entah untuk alasan apa, tapi sepertinya dia
telah kembali kedalam hidupku lagi. Enam bulan bukanlah waktu yang singkat
untuk menghapuskan ingatanmu tentang orang yang sangat kau cintai. Ah tidak, sepertinya
aku hanya tergila-gila padanya. Nyatanya kini aku sudah tidak punya cinta
barang setitikpun untuk kuberikan padanya. Rasa itu telah mati, hilang entah
kemana. Aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Mengenaskan sekali.
“Dong Kyo-ya~ ” suara itu? aku mengenalnya
dengan sangat baik. Aku mengenal suara itu. Tentu saja, aku sangat merindukan
suara ini.
“Eomma?” pekikku saking terkejutnya karena
tidak percaya akan penglihatanku kini.
“Aku sangat rindu sekali padamu, Eomma.
Saking rindunya sampai aku ingin menangis.” Ucapku mulai terisak.
“Kau harus hidup dengan baik, berbahagialah
sayang~” Eomma tersenyum dengan lembut. Senyum yang sama seperti saat terakhir
aku melihatnya sebelum beliau berangkat ke Jepang dan mengalami kecelakaan itu.
Aku melangkah maju, bermaksud untuk mendekati
Eomma, namun semakin aku mendekat, Eomma semakin menjauh dan akhirnya hilang
ditelan kabut putih.
“EOMMAAA.....!!!!” aku menjerit frustasi
menggapai-gapai udara kosong didepanku. Aku sangat merndukannya, tidak bolehkah
aku memeluknya walau hanya untuk beberapa saat?
“EOMMA!!!” lagi-lagi aku menjerit frustasi
karena tak mendapatinya dalam jarak pandangku.
Dan disaat aku frustasi untuk menemukan sosok
ibuku, sosok lain yang tak ku inginkan itu malah muncul didepanku. Sesosok pria
yang tampak menggamit lengan seorang wanita dengan mesra dan mereka tersenyum
meremehkanku.
“kau benar-benar menyedihkan, gadis bodoh.”
Kata sang pria dengan seringai licik andalannya.
“Tidak hanya bodoh, kau juga jelek” tambah si
wanita yang membuatku menggeram.
“Tentu saja, Kau benar Honey, dia itu jelek.
Kau seribu kali lebih cantik dibandingkan dia,” timpal si lelaki yang membuat
darahku mendidih.
“tentu saja aku lebih cantik daripada gadis
menyedihkan ini, Oppa..”
“cukup.” Ucapku dengan bibir terkatup.
“kenapa? Kau tak terima dikatai jelek seperti
itu, huh?” tantang pria itu.
“kau bahkan hanya gadis ingusan yang tak
berguna sama sekali.”
“dengan lancangnya kau menikah denganku. Kau
bahkan tak tahu bagaimana caranya untuk berciuman!”
“Oppa, kau kasihan sekali? Aku yang akan
menggantikan gadis bodoh itu, kau bisa menciumku sepuas yang kau mau,” lanjut
si wanita. Tangannya kini telah bergelayut manja dilengan lelaki yang menjadi
suamiku itu.
Dan selanjutnya, apalagi? Tentu saja mereka
melakukan adegan menjijikan itu didepan mataku, tanpa rasa canggung dan malu.
Bunyi decakan lidah mereka membuatku mual dan frustasi. Ini lebih sakit
daripada tamparan yang mendarat dipipimu.
Aku menjerit histeris saat mereka tak
menghentikan aktivitas mereka itu,
“ARRRRRRGGGGGGHHHHHTTTTT.........”
Aku bangun terduduk dengan nafas
tersengal-sengal dan wajah yang penuh dengan keringat.
“itu hanya mimpi,” ucapku linglung pada
diriku sendiri, berusaha menenangkan hatiku yang tengah berkecamuk.
Aku meraba jantungku, ia berdetak dua kali
lebih cepat hingga terasa sakit dan sesak. Mataku kembali memanas. Aku berusaha
meraup udara sebanyak-banyaknya, bermaksud menyetabilkan detak jantungku lagi.
Tapi yang kudapat malah jantungku bertambah sakit dan nyeri.
000ooo000
Aku berjalan gontai menuju atap gedung
apartemenku. Disini lebih baik, udaranya cukup dingin. Kuharap bisa membekukan
airmataku yang sebentar lagi akan meleleh. Sudah berapa kali kubilang? Aku
tidak ingin lagi meneteskan airmataku untuk pria sebrengsek dia, betapapun inginnya
aku menangis.
Aku berusaha membuka mataku selebar-lebarnya,
membiarkan udara malam yang dingin menampar wajahku dengan langsung sehingga
perih akibat cinta yang tertangguhkan ini dapat berkurang.
Hei Choi Dong Kyo bodoh! Perih yang mana yang
sedang kau bicarakan sekarang? Bahkan kau sekarang sudah tidak mempunyai hati
itu merasakan perih itu lagi. Kau lucu sekali. Tidak usah berlagak sok
manusiawi seperti itu, hatimu sudah mati. Ingat itu!
Kurasa pikiranku malah sedang asik berperang
sendiri disana. Terserah. Aku tidak ingin terlarut memikirkannya.
“Disini kau rupanya? Aku mencarimu
kemana-mana bodoh!”
Aku mendengar suara itu lagi. Suara bass pria
yang tak ingin kudengar saat ini. Ia akan memergokiku tengah frustasi jika
begini jadinya.
“sudah berapa lama kau tidak datang ketempat
ini? Biar ku hitung, tiga bulan?” Ucap Min Woo sambil menatapku dengan tatapan
yang aku sendiri tidak tahu jenis tatapan seperti apa itu.
“kau kembali memikirkannya lagi? Kau terluka
lagi?” dia mulai memberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan membuat
diding pertahananku jebol seketika.
“Menangislah jika kau ingin menangis. Jangan
termakan janji bodohmu tiga bulan yang lalu. Kau wanita, sudah semestinya kau
menangis saat tersakiti. Jangan mementingkan egomu, kasihan otakmu yang harus
bekerja lebih keras hanya karna janji konyolmu itu!”
Nada
bicara Min Woo mulai meninggi, dan apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa
menunduk,tak berani menatapnya. Jika kuputuskan untuk menatapnya sekarang, maka
kupastikan airmataku akan tumpah seketika. Dan sepertinya malam ini dia ingin
sekali melihatku menangis.
Min Woo mengulurkan tangannya kearahku,
meraih daguku dan mendongakkannya secara paksa hingga pandangan kami bertemu.
“Menangislah, Dong Kyo-ya! Aku lebih tenang
ketika melihatmu menangis daripada kau memendamnya dalam diam seakan semuanya
baik-baik saja.” Ucap Min Woo menatapku dengan tatapan prihatin. Mataku mulai
memburam. Dan kulihat ada air mata yang menngenang dipelupuk matanya.
“Menangislah Dong-ie ya! Ini perintah! Perintah
dari seorang kakak kepada adik yang sangat ia cintai. Menangislah, kumohon.
Buatlah dirimu lebih manusiawi!”
Aku merasakan tangannya bergetar dan sesaat
kemudian dia menarikku kedalam pelukannya. Menempatkan wajahku tepat didepan
dada bidangnya yang tengah bergemuruh. Min Woo menangis untuk pertama kalinya.
Apakah ini untukku?
Pelukannya semakin erat kurasakan, dia
menelusupkan wajahnya diantara bahu dan leherku. Rasanya kerah piamaku sudah
basah oleh airmatanya.
“Menangislah sayang, menangislah. Aku
mencintaimu.” ucapnya parau.
Entah mulai kapan, tapi akhirnya akupun juga
menangis dalam dekapan hangatnya. Aku menangis menyadari kebodohanku, pria ini
benar-benar mencintaiku, dan aku tidak bisa membalasnya. Aku gadis yang jahat.
Dan aku kini menangis dipelukannya. Menangisi nasib kami.
Seharusnya aku bisa menjadi wanita yang
paling bahagia dimuka bumi ini jika saja mempunyai suami dengan cinta sebesar
yang dimiliki oleh pria yang tengah memelukku kini. Tapi nyatanya semua itu tak
pernah terjadi, aku adalah seorang wanita yang telah menikah dan menjadi hak
milik pria lain, bukan pria yang tengah memelukku ini.
000ooo000
“Jadi ini yang selama ini kau lakukan di New
York?” suara dingin seorang pria seolah menusuk ruang dengarku.
Aku segera melepaskan pelukan hangat Min Woo
dan menoleh kebelakang, mendapati Seung Joon berdiri disana dengan wajah
menahan amarah.
Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, dia
langsung menyeretku, menjauh dari Min Woo. Aku menatap Min Woo antara merasa
bersalah dan meminta tolong, namun dia hanya tersenyum tipis sambil mengangguk
pelan seakan mengatakan ‘ikutlah dengannya’.
Aku tersaruk-saruk dalam usahaku menuruni
anak tangga yang menghubungkan atap gedung ini dengan bagian dalam gedung.
Ditambah cengkraman tangan Seung Joon disekitar pergelangan tanganku yang kuat
sekali-terbukti dari buku-buku jarinya yang memutih- membuatku tak mempunyai
celah untuk bergerak sedikit lebih bebas.
Aku baru menyadari tanganku sudah kebas dan
mati rasa karena tidak ada darah yang mengalir kebagian itu, telapak tanganku
sudah terlihat memucat dan dingin. Kupastikan kalau dia mencengkram dibagian
leherku, tentu aku hanya akan tinggal
nama saja.
Dia melepaskan pegangan tanganya ketika
berhasil menghempaskanku kekursi penumpang, disamping kursi kemudi. Dan rasanya
aliran darahku berlomba untuk segera mengisi ruang yang tak teraliri darah tadi
hingga membuatku merasa pegal dan kesemutan hebat dibagian itu.
Kulihat dia berjalan memutar dan memasuki
mobil dan duduk disebelahku dengan nafas memburu dan pendek-pendek menandakan
dia sedang menahan emosinya dengan susah payah.
Aku tentu saja tak berani menatapnya. Melihat
pria itu membuat lukaku semakin menganga dalam, dan aku tidak mau itu terjadi.
Aku merasa pipiku masih basah akibat acara menangisku tadi bersama Min Woo
diatap gedung. Dengan sisa-sisa kekuatan yang masih kumiliki aku menghapusnya
dengan wajah tertunduk dalam.
Kulihat dia kembali mendekat kearahku, aku
segera merapatkan diriku pada pintu mobil pria ini, tentu saja aku waspada akan
setiap gerak-gerik pria ini. Dia mengarahkan tangannya kesebelah dalam
pinggangku dan menarik sesuatu keluar dari sana. Dia menarik sabuk pengaman itu
dan memasangkannya pada diriku dalam diam. Aku hanya bisa menahan nafas saat
dia melakukan semua itu. bahkan disaat seperti ini pun jantungku tidak mau
diajak bekerjasama. Diluar kuasaku, dia bekerja tiga kali lebih cepat,
memukul-mukul, berlomba memompa darah keseluruh bagian tubuhku.
Kurasa dia melajukan mobilnya dengan
kecepatan sangat tinggi. Dia beberapa kali myerobot jalan, dan aku mendengar
makian dari beberapa orang dalam bahasa inggris yang terasa kabur ditelingaku,
hampir lebih mirip dengan dengungan sebenarnya.
Aku hanya mampu menutup mataku erat dan
berdoa dalam hati agar aku tetap selamat dan nyawaku masih tertempel dengan
baik pada tubuhku, setidaknya sampai besok malam, saat aku sudah selesai
memberikan surat-surat penting pada pihak universitas. Bodoh, bahkan disaat
tegang seperti ini aku masih sempat memikirkan kuliahku. Aku berada diantara
hidup dan mati mengingat pria ini tidak cukup pandai dalam hal mengemudikan
mobil.
Aku tidak tahu seberapa jauh aku telah
meninggalkan apartemenku. Aku membuka mataku perlahan saat merasakan mobil ini
sudah berjalan diantara jalan berbatu dan lajunya sudah jauh lebih pelan
daripada yang tadi. Aku melihat sebuah bangunan yang hampir mirip dengan
bungalau terpampang jelas didepan mataku. Apa yang sebenarnya pria ini
rencanakan?
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar