Minggu, 01 September 2013

Holding Back The Tears (Sequel Love Disease) Part I



 “selamat jalan, Kyo-ya! Jaga kesehatanmu, ne? Jangan tidur larut,” ucap Nyonya Cho saat mengatarkan putrinya itu ke bandara Incheon.
“ne eomma. Aku akan sering-sering mengirim email untuk eomma. Jaga kesehatan eomma, ne? Hyunra-ya! Jaga eomma baik-baik, ne?” ucap Kyo dengan senyum yang dipaksakan.
“ne, eonnie. Aku akan menjaga eomma dengan baik. Serahkan padaku! Aku akan menyusulmu semester depan Eonnie.” Ucap Hyunra semangat.
“ne, aku akan menunggumu.” Ucap Kyo sambil menepuk pundak Hyunra.
“kau tidak menungguku?” ucap seorang namja yang sontak membuat ketiga wanita itu menoleh.

“oppa?” desis Kyo tak percaya.
“kau tidak menunggu suamimu ini, eoh?” tanya Joon lagi.
“ah~ kurasa kalian harus bicara berdua, kami pergi dulu, ne?” ucap Nyonya Cho yang kemudian menyeret paksa Hyunra yang terlihat enggan meninggalkan Kyo.
“kau? Bukannya ada rapat, Oppa? Kenapa bisa disini? Cepatlah kembali!” ucap Kyo berusaha menutupi kebahagiaannya karna mengetahui Joon menyusulnya kebandara.
“rapatnya ditunda, chagi-ya!” ucap Joon dengan senyum tulus.
Tiba-tiba Joon menarik Kyo kedalam pelukannya. Kyo hanya dapat berdiri mematung, tanpa reaksi sedikitpun.
“cepatlah pulang, aku menunggumu disini, Chagi-ya! Saranghaeyo..” kata-kata terakhir itu menghantam alam sadar Kyo. Ia cepat-cepat mendongakkan kepala untuk meneliti ekspresi suaminya itu.
“ne?” gumam Kyo tak percaya.
“aku mencintaimu, Kyo-ya! Aku akan menuggumu disini,”
“kau hanya kuberi waktu satu setengah tahun, kalau kau tidak pulang-pulang aku akan menculikmu dari sana,” Ucap Joon dengan seringai nakal.
“bukankah kau? Bagaimana dengan Eunbin?” tanya Kyo masih bertahan dengan logikanya.
“bisakah kita tidak membicarakan orang lain? aku ingin membuat kenangan yang indah bersama istriku sebelum meninggalkanku untuk setahun kedepan,” ucap Joon lagi.
“kau? Apa kau keracunan oppa? Salah makan?” tanya Kyo khawatir. Gadis itu masih menganggap Joon membencinya dan hanya mencintai Eunbin.
“yak! Aku sehat! Kau yang meracuni hidupku, gadis jelek! Cepatlah pulang, atau aku akan menyeretmu dengan paksa untuk kembali kesini,” ucap Joon lagi.
“kau... kau mencintaiku, oppa?” tanya Kyo lagi tak percaya yang menyisakan sebuah wajah konyol Kyo.
“apa aku harus mengulanginya lagi? AKU MENCINTAIMU, gadis BODOH!” teriak joon sambil menarik Kyo kedalam pelukannya lagi.
“saranghae...” bisik Joon ditelinga kiri Kyo, tepat saat pegumuman keberangkatan pesawat Kyo terdengar.
“ne, Oppa. Saranghaeyo..” ucap Kyo yang kemudian melepaskan pelukan pria itu dan menuju keruang pemeriksaan tiket.
Gadis itu menoleh kebelakang sebentar, menatap suami yang selalu ia cintai itu. Gadis itu melambaikan tangannya pada Joon, yang dibalas oleh Joon dengan bersemangat.

000ooo000

Aku terbangun dari tidur nyamanku ketika kurasakan suara Eomma mengusikku. Ternyata hanya mimpi. Aku masih terduduk dibangku penumpang mobil keluargaku ketika aku membuka mata.
“Dong Kyo-ya, kau tertidur? Lanjutkan nanti dipesawat, sekarang kau harus bergegas.” Ucap Eomma lembut sambil menarik tanganku keluar memasuki bandara.
Ahh~ betapa akan sangat menyenangkan jika semua itu bukan hanya terjadi dalam impianku saja. Sepertinya aku terlalu banyak menonton drama picisan. Sekali lagi aku tersenyum miris, memandang ibu mertua dan adik iparku bergantian. Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan? Aku tidak akan dengan lancangnya berharap laki-laki itu akan datang kesini, setidaknya untuk memastikan aku akan benar-benar pergi dan tak akan kembali bukan? Tidak kurasa dia tak sekejam itu.
Baiklah sepertinya aku harus segera pergi, pesawatku akan tinggal landas dalam waktu beberapa menit lagi. Aku kembali memeluk Eomma, ibu mertuaku dan adikku ini, Hyura dengan penuh sayang. Bagaimanapun juga aku tidak akan melihat mereka dalam jangka waktu yang lama. Aku harus memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya bukan?
“selamat jalan, Kyo-ya! Jaga kesehatanmu, ne? Jangan tidur larut,” ucap eomma untuk terakhir kalinya.
“ne eomma. Aku akan sering-sering mengirim email untuk eomma. Jaga kesehatan eomma, ne? Hyunra-ya! Jaga eomma baik-baik, ne?” ucapku  dengan senyum yang kupaksakan.
“ne, eonnie. Aku akan menjaga eomma dengan baik. Serahkan padaku! Aku akan menyusulmu semester depan Eonnie.” Ucap Hyunra semangat.
“ne, aku akan menunggumu.” Ucapku sambil menepuk pundak Hyunra.
Ini seperti de Javu saja, tapi aku tahu de javu ku takkan berlanjut sampai ketika suamiku tersayang itu datang dan melepaskan kepergianku. Suara peringatan terakhir tentang pemberangkatan pesawatku telah terdengar sekali lagi dan dengan berat hati segera kuseret paksa koper-koperku sambil tersenyum miris. Kurasa aku sudah selesai sampai disini. Dia benar-benar tidak datang. Ah~ laki-laki itu, dari sekian banyaknya laki-laki dimuka bumi ini, kenapa harus dia yang menjadi suamiku? Kurasa kehidupan pernikahanku sudah selesai sampai disini.

000ooo000
Aku baru saja menjejakkan kakiku lagi di NewYork ketika kurasakan sebuah tangan mendarat dipundakku. Saat aku menoleh kearah tangan itu betapa terkejutnya aku ketika kudapati seseorang tengah tersenyum ramah didepan apartemen baruku.
“Dong Kyo-ya, Anyeong!” suara berat seorang laki-laki mengusik pendengaranku.
“Oh, Min Woo Oppa? Kau? Bagaimana kau.. kenapa kau bisa ada disini?” tanyaku terbata. Ku akui aku cukup terkejut melihat kehadirannya yang tiba-tiba seperti ini.
“tentu saja. Aku akan kuliah di Columbia University, aku didepartemen Teknik Lingkungan dan Tata Kota,” terangnya sambil tersenyum cerah.
“oh, jaadi kau memutuskan untuk mengambil program mastermu disini juga, Oppa? Daebak! aku didepartemen Fisika,” jawabku seadanya menjelaskan dengan mata berbinar.
“hei, kapan kau tiba, Oppa?” Tambahku lagi.
“seminggu yang lalu, banyak hal yang harus ku urus dan yah kau tau sendiri semua persiapan ini membuatku hampir gila,” Min Woo terlihat mengerang Frustasi.
“ah, ya. Kurasa kau terlalu berlebihan. Nikmati saja prosesnya Oppa!” ucapku menghibur.
“kau takkan mengatakan hal seperti itu lagi jika kau telah merasakan betapa menyakitkannya sebuah proses.” Ucapnya sakartis.
“baiklah, aku akan mencari tahu seberapa sakitnya, Oppa!” ucapku kalem.
“Kamarku, ada disebelah sana, persis disamping kamarmu.” Tunjukknya lagi pada sebuah kamar yang ada disebelah kiri kamarku. Aku mengernyit bingung dan tersenyum jahil, menggodanya sedikit tidak apa-apa kan?
“Eum, jadi setelah kupikir-pikir, apa kau mengikutiku, Oppa?” ucapku dengan senyum terkulum.
Kalian tau? Min Woo adalah laki-laki pertama yang dekat denganku setelah aku beranjak dewasa, dan hanya didepannyalah aku bisa dengan bebas menjadi diriku sendiri. Sang Chu tentu saja tidak masuk hitungan karena dia memang dekat denganku sejak kecil. Sang Chu adalah tipe pria yang paling menyebalkan yang pernah kutemui, tapi tetap saja tidak lebih menyebalkan daripada suamiku yang bodoh itu, Cho Seung Joon. Ah, mengingat namanya saja sudah membuat hatiku sakit begini. Sudahlah, lupakan dia Choi Dong Kyo. Mengenaskan.
“Cih, yang benar saja. Kau ini lucu sekali,” tanggapnya santai, namun aku melihat dia sedikit gugup.
“baiklah, dan yah, apa kau mau masuk? Setidaknya kau bisa membantuku membereskan barang-barangku?” kekehku, sebelum memasuki apartemen baruku. Kurasa ini akan menjadi tempat tinggal permanenku karna yah, kurasa aku sudah tidak mempunyai alasan untuk pulang ke Korea lagi setelah ini.
“aih~ kau ini selalu saja bisa memanfaatkan kesempatan untuk meminta tolong pada pria-pria sepertiku. Jenis pria yang tak akan tega melihat seorang gadis cantik meminta bantuan” ucap Min Woo panjang lebar namun tetap masuk sambil menyeret koper bawaanku.
“hahaha, kau yang terbaik Oppa!” pekikku, sengaja kulebih-lebihkan.

000ooo000

Sudah enam bulan aku menjalani kehidupan baruku di New York sebagai seorang mahasiswa. Kuliah pada program master ini membuatku sedikit kewalahan, tugas yang menumpuk, beberapa penelitian yang harus segera diselesaikan dalam waktu singkat, semuanya menuntut kerja cepat dan tepat.
Terkadang karena terlalu padatnya jadwalku, aku jadi lupa makan. Namun aku beruntung mempunyai sahabat seperti Min Woo. Dia sangat perhatian terhadapku. Ditengah malam saat aku sedang berkutat dengan tugas-tugasku, dia akan dengan senang hati datang dan membawakanku makanan, memastikan aku memakannya sampai tandas kemudian dia akan beranjak pergi meninggalkanku bersama tugas-tugasku.
Belakangan aku jarang bertemu dengannya karena aku juga harus kerja part-time untuk menunjang biaya hidupku yang makin menggila. Aku bekerja disebuah kafe yang letaknya tak jauh dari kampusku, hanya sepuluh menit berjalan kaki untuk sampai kesana. Saat pagi sampai sore aku berada dikampus, dan malamnya aku bekerja  beberapa jam dikafe tersebut. Gajinya memang tak bisa untuk membeli tas wanita keluaran terbaru, tapi setidaknya ini cukup untuk makan dan membeli buku-buku penunjang perkuliahanku.
Min Woo juga melakukan part-time sekarang. Ini terjadi sekitar sebulan yang lalu dimana pada malam sebelumnya aku tengah dihadang oleh beberapa pria mabuk yang ingin mencoba menyelakaiku. Tapi entah bagaimana ceritanya, akupun tidak ingat karena tiba-tiba saja Min Woo sudah ada disana dan menolongku.
Jika di drama telenovela yang sering kulihat, setelah menolong gadis maka seorang pria akan berlaku lembut pada sang gadis agar gadis itu merasa terlindungi, tapi yang dilakukan Min Woo padaku hampir membuatku frustasi. Dia memarahiku habis-habisan malam itu, dan esoknya kutemukan dia bekerja sebagai bartender di sebuah Club malam yang letaknya hanya berjarak satu blok dari kafe tempatku bekerja.
Tapi belakangan kudengar gadis yang sering bersamanya akhir-akhir ini juga bekerja disana, jadi kupikir aku tau apa maksudnya. Bahkan dia tidak bekerja part-time pun kurasa uang sakunya itu masih bisa untuk membeli mobil sport keluaran terbaru. Dasar pria sok romantis, menyiksa diri sendiri hanya untuk mendapatkan perhatian dari seorang gadis. Aku memang tidak pernah mengerti jalan pikiran pria, karena aku bukan pria.
000ooo000
Harusnya pagi ini aku akan menjemput adikku tercinta, Cho Hyun Ra yang berjanji akan menyusulku setelah dia lulus program sarjana-nya. Tapi apa ini? Dia malah memutuskan untuk menetap di Korea karena tiba-tiba saja Sang Chu melamarnya! Aish~ benar-benar gadis yang labil.
Hari ini jadwal kuliahku kosong, aku hanya ada janji menemui dosenku sebelum jam makan siang disebuah Restaurant yang cukup mewah. Tentu saja dosenku itu tidak akan mengajakku makan siang bersama. Dia akan ada rapat penting yang membahas tentang penemuan terbaru dari departemen kami dengan beberapa lembaga penelitian terkemuka dinegara ini selama dua minggu penuh, jadi aku hanya diberi waktu setengah jam untuk mengurus keperluanku.
Sebenarnya tidak terlalu banyak urusanku, hanya meminta tanda tangan sebagai bukti persetujuan penelitian, surat peminjaman alat dan tempat serta mendiskusikan beberapa hasil sementara yang telah kudapat sebagai kajian awal saja. Dan ternyata lima belas menit sudah cukup untukku mendapat beberapa saran dan masukan. Kurasa penelitianku kali ini akan berjalan lancar karna semua berkas yang kubutuhkan sudah ditanda tangani.
Aku tengah berjalan menyusuri lorong-lorong Restaurant karena ini adalah jenis restaurant VIP yang terdiri dari ruang-ruang makan terpisah dan tertutup, jadi kau bisa lebih leluasa untuk makan sambil melakukan rapat dan sebagainya ketika kurasakan handphoneku bergetar dari dalam tas. Ini sudah hampir tiba jam makan siang dan aku tau, siapa orang yang menelponku tanpa melihat id pemanggilnya. Aku tersenyum sekilas dan mengangkat panggilan itu,
“waeyo?” tanyaku langsung tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu.
“kau dimana? Bagaimana urusanmu dengan dosenmu itu? sudah selesai?” Tanya suara diseberang sana tak sabaran, ini suara Min Woo.
“Eum, sudah. Kau sudah lapar?” Tanyaku lagi. Ini lah kebiasaannya, dia takkan makan siang sebelum menemukanku duduk manis didepan meja makannya dan menungguinya untuk makan. Dasar manja, apa dia tidak pernah berpikir berapa usianya? Seperti anak TK saja.
“Eoh. Aku sudah didepan Restaurant ini, jadi cepatlah keluar!” ucapnya ketus.
“Kenapa tidak masuk saja? Kurasa kau tidak akan bangkrut hanya dengan menraktirku makan disini sekali,” godaku lagi. Tapi aku memnag tidak bercanda dibagian bangkrutnya, dia sangat kaya raya.
“kalau kau mau jadi istriku, setiap hari kau akan makan disini,” timpalnya santai. Aku tau pasti dia sedang menahan tawanya diseberang sana.
“hei, kau pikir aku gadis tujuh belas tahun yang mukanya akan langsung memerah ketika disodori pernyataan seperti itu? maaf saja, itu bukan aku!” jawabku ketus, dan aku sempat mendengar tawa menggelegarnya sesaat sebelum kumatikan telponku.
Benarkan? Dia juga menyebalkan, dan pelit tentunya. Jenis pria yang akan susah mendapatkan jodohnya, kurasa. Hahahaha rasakan kau, Choi Min Woo bodoh.
Aku sedang terkikik dengan pemikiranku tentang Min Woo sambil memasukkan kembali handphoneku kedalam tas, hingga aku tak sengaja menabrak orang yang berdiri didepanku.
“Oh, Sorry, Sir!” ucapku sambil membungkuk dalam. Kebiasaanku sebagai orang Korea memang sulit sekali terlepas dariku.
Aku baru akan mengangkat wajahku, namun handphoneku sudah berbunyi lagi, jadi aku membungkuk sekali lagi, dan sekilas aku seperti mengenal sosok yang tengah berdiri didepanku ini, haruskah aku menatap wajahnya untuk memastikan bahwa yang berdiri didepanku sekarang adalah suamiku? Apa aku terlalu merindukannya hingga aku terbayang oleh sosoknya? Lucu sekali, bahkan aku hampir lupa kalau aku sudah bersuami. Kami tak pernah berhubungan satu sama lain sejak aku pergi kesini, entahlah, apa dia masih sudi menganggapku istri atau tidak, aku sudah tidak terlalu memikirkannya.
Aku merasa dia memandangiku, aku dapat merasakan aura tajam disekitarku. Namun aku kembali ingat pada pesan masuk di handphone-ku. Dan aku kembali berjalan keluar restaurant tanpa menoleh lagi pada orang yang kutabrak tadi. Biar saja aku dikatai tidak sopan, kami tidak saling mengenal dan lagi pula aku sudah meminta maaf, tidak akan ada tuntutan yang datang padaku karena aku menabrak seseorang saat berjalan kan? Konyol sekali.
000oo000
“hari ini kau mau makan apa, Oppa? Jangan ditempat yang ramai karna pasti akan lama sekali mengantrinya, aku sudah ditunggu temanku.” Ucapku panjang lebar setelah masuk kedalam mobil Min Woo.
“baiklah, kita makan dikantin kampus saja. Kau bisa menemui temanmu itu secepatnya setelah acara makan kita selesai,” ucapnya kalem.
“kau pasti senang karena hari ini tak akan mengeluarkan uang lebih banyak. Berapa mahal makanan dikantin dibandingkan restaurant ini?” cibirku sambil menunjuk restaurant yang baru saja kutinggalkan. Aku terlihat lebih matrealistis ketika bersamanya. Biarkan saja.
“hahaha, sudah ku bilang kau akan makan disini kalau margamu berubah menjadi Choi,” ucapnya lagi sambil menahan senyumnya.
“ternyata aku benar-benar berteman dengan orang bodoh. Kau lupa? Namaku CHOI Dong Kyo.” Ucapku penuh kemenangan.
“aish~ diwaktu seperti ini aku lebih mengharapkan margamu adalah Cho, sehingga bisa ku ubah menjadi Choi,” ucapnya lagi sambil memandang fokus jalan didepannya.
“terimakasih,kau tak perlu repot. Margaku sudah Choi sejak lahir,” ucapku ketus dan ikut memandang ke arah jalan.
000ooo000

Tadi petang sebelum berangkat kekafe tempatku bekerja, dosenku menelpon dan memintaku untuk mengambil beberapa berkas yang harus segera kuserahkan kepada pihak universitas. Hari ini aku menemuinya di sebuah hotel mewah bernama Grand Palace Hotel, tempat ini biasa digunakan untuk acara mewah serta petemuan-pertemuan antar petinggi negara, entah untuk bisnis atau membicarakan penelitian yang tengah dikembangkan dinegara ini.
Tak ada yang spesial untukku hari ini, aku harus naik bus umum untuk sampai kehotel ini karena Min Woo harus bekerja. Sebenarnya aku juga tidak ingin merepotkan dan bergantung terus padanya, tapi dia selalu memaksa untuk mengantar dan menjemputku setiap kali aku ingin pergi kesuatu tempat. Semua ini karena peristiwa yang kualami waktu itu, saat aku dicegat para berandalan itu. sejak saat itu, kurasa dia semakin protective padaku.
Min Woo berpesan padaku agar menunggunya di Lobby hotel sebelum dia datang pukul sembilan malam nanti, lima belas menit lagi. Tak masalah pikirku. Aku merasa sedikit lapar dan aku bermaksud untuk memesan makanan di restaurant yang terdapat dalam hotel ini. Aku tau harga cemilan atau makanan ringan disini bahkan cukup untuk membeli persediaan makanku selama satu minggu. Tapi kurasa tak masalah, hari ini aku berada dalam mood yang baik karena hasil dari salah satu penelitianku tinggal menunggu untuk dipublikasikan.
Langkahku seketika terhenti ketika aku mendapati punggung orang yang sangat kukenal. Tentu saja aku sangat mengenal punggung itu, gerak-geriknya, rambutnya, caranya berpakaian, semuanya, aku mengenal itu semua. Dia suamiku. Ah ya, mungkin kalau dia masih menganggapku sebagai istrinya, karena kulihat kini dia tengah berpelukan dan berciuman dengan mesranya dengan seorang wanita. Aku tidak peduli siapa diantara mereka yang memulai. Tapi yang jelas mereka sedang berciuman dan itu mereka lakukan didepan umum.
Kakiku terasa berat untuk sekedar kugeser barang sesenti.Tulangku serasa dilolosi satu-persatu secara paksa dari tubuhku, aku sudah tak mempunyai kekuatan lagi. Kurasakan udara disekitarku menipis, terkikis habis. Seperti ada godam yang memukul-mukul jantungku. Rasanya nyeri, dan sesak. Kurasakan mataku mulai memanas.
Apakah aku cemburu? Lucu sekali, aku cemburu pada orang yang tak pernah menganggap keberadaanku. Benar-benar menyebalkan. Aku sibuk dengan perasaanku sendiri yang terlalu mencintainya, tapi dia bahkan tidak mau menerima sedikit saja perhatian dan cinta yang keberikan padanya. Begitu banyak cinta yang telah kuberikan padanya dan dia membuang semua itu begitu saja. Kurasa hatiku sudah mati karena cinta yang kupunya sudah kuberikan semua untuknya, dan rasa itu tak pernah kembali padaku lagi karena dia telah membuangnya entah kemana. Hatiku sudah berkarat dan mati.
Kurasa dia-suamiku- menyadari kehadiran seseorang, dan secara paksa menghentikan adegan menjijikan itu. wajahnya seketika menegang dan ia menatapku dengan tatapan yang entah aku sendiri sulit untuk mengartikannya. Ini terjadi karena kurasakan mataku semakin memburam karena airmata yang menggenang dipermukaannya. Entah mendapat kekuatan dari mana, dengan sisa-sisa kesadaranku aku berbalik dan langsung keluar dari gedung Hotel ini.
Aku melihat mobil Min Woo yang datang dari kejauhan dan aku langsung menghentikannya. Tanpa menyapanya terlebih dulu aku langsung masuk dan menundukkan kepalaku dalam. Untuk saat ini akan lebih baik kalau aku diam dan tidak mengatakan sepatah katapun, karena itu bisa saja membuat airmataku tumpah. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan menangisi pria brengsek itu lagi. Seakan mengerti keadaanku, Min Woo memilih untuk diam dan menyetir, membiarkanku meraih ketenangan dengan usahaku sendiri. Ini salah satu alasan aku bersahabat dengannya, dia selalu mengerti akan kondisiku.

000ooo000
“Dong-ie ya? Kau oke?” sapaan pagi yang menjengkelkan yang kudapati pagi ini ketika membuka pintu apartemenku. Min Woo sedang berdiri disana sambil memamerkan senyumnya yang memuakkan itu yang menurutnya bisa menaklukan hati setiap gadis.
“simpan kembali senyummu yang menjijikkan itu Oppa, aku tidak mau melihatnya!” ucapku ketus dan berjalan melewatinya menuju lift. Apartemenku berada dilantai 15 kalau kalian ingin tau. Kurasaka Min Woo mengekor dibelakangku.
“kau mau cerita? Atau aku yang bertanya?” ucapnya lagi.
“tentang apa?” ucapku sambil memutar bolamataku. Aku tahu, dia sudah mengetahui masalahku hanya saja dia pura-pura tidak tahu. Menyebalkan.
“tentang.... semalam, mungkin?” ucapnya hati-hati.
“kau tak perlu mendengarkan cerita yang sudah kau ketahui, itu membuang waktumu saja, Oppa.” Ucapku dengan ekspresi datar, semoga saja terlihat seperti itu.
“baiklah kuanggap kau oke,” Ucapnya mengalah.
Selama perjalan menuju kampus aku memilih untuk diam dan tidak bicara sampai akhirnya suara Min Woo kembali mengusik pendengaranku.
“bagaimana hubungan kalian?” ucapnya dengan nada datar dan ekspresinya berubah menjadi serius.
“siapa? Kalian yang mana yang kau maksud?” ucapku mulai jengah.
“kau dan suamimu. Selama enam bulan bersamaku disini, aku tak pernah melihat wajah menderitamu seperti waktu di Korea dulu. Ekspresi itu selalu kutemukan saat kau bertemu dengannya,” ucapannya kini sedikit melembut.
Dia  ada disini, Kalian sudah bertemu?” tanyanya lagi kali ini dia menepikan mobilnya. Ia menatapku lurus.
Aku mengangguk. Pelan, dan nyaris tidak terlihat seperti anggukan Memangnya apalagi yang bisa kulakukan? Aku tak pernah tega membohonginya.
“tadi malam aku bertemu dengannya, di Bar tempatku bekerja. Dia minum sangat banyak hingga sekertarisnya menarik paksa untuk pulang,” cerita Min Woo tanpa kuminta.
Itu pasti Lee Ahjussi, dia memang terlalu menyayangi pria brengsek itu.
“tadi malam, dia selalu menggumamkan sesuatu, tidak jelas. Tapi terdengar seperti kata maaf ? aku sendiri tidak tahu. Kalian bertengkar?”
Aku menggeleng.
“mungkin, kau ingin menangis? Menangislah jika kau ingin. Jangan ditahan. Terkadang menangis bisa membuat perasaanmu jauh lebih baik,” ucapnya lagi
“kupinjamkan bahuku untukmu, ini gratis!” tambahnya cepat. Mendengar ucapan Min Woo membuatku ingin menangis. Dia sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
Aku kembali menggeleng. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku takkan menangis lagi karena pria brengsek itu, seberapa menyakitkannya perlakuannya padaku. Air mataku terlalu berharga hanya untuk menangisi laki-laki seperti dia.
“jadi, kalian tidak bertengkar, tapi wajahmu terluka dan dia menggumamkan kata maaf. Mungkin aku salah lihat, atau setidaknya aku berharap sahabatku mau menceritakan  masalahnya padaku. Kuharap kalian tidak benar-benar bertengkar,” ucapnya lagi yang seperti menuduhku bertengkar denga pria brengsek itu.
kurasa Min Woo mulai cerewet dan aku tidak suka itu. dalam keadaan normal pasti sudah kusumpal mulutnya menggunakan kaos kaki busuknya yang selalu ia simpan di dashboard mobilnya.
Tapi hari ini moodku sedang tidak baik dan aku tidak mempunyai tenaga untuk melakukan itu semua sehingga pada akhirnya aku lebih memilih menggunakan bahasa tubuh yang ringan saja.
Aku menghela nafasku lagi, kasar. aku mencoba memasang ekspresi terbaikku.
“aku ingin makan eskrim, sekarang.” Ucapku datar. Dan dia hanya mengangguk.
“sepertinya bolos sehari, tidak masalahkan?” aku tahu ia mencoba menggodaku.
“aku tidak ada jadwal hari ini. Ini rabu.” Ucapku masih dengan ekspresi datar.
“Omo~ kenapa aku lupa? Siang ini aku ada presentasi bersama kelompokku.” Ucapnya dengan wajah ngeri. Aku hanya mengendikkan bahuku.
“kau harus membantuku, hhm?” ucapnya lagi dengan memasang tampang menyebalkan itu.
“sudah berapa kali kubilang? Simpan wajah menyebalkanmu itu Choi Min Woo!” jeritku frustasi. Dan apa itu? dia malah tersenyum? Lihatkan? Dia memang benar-benar menyebalkan. Jenis pria yang akan susah untuk mendapatkan jodohnya. Rasakan.
“Aigoo~ Dong Kyo kami sudah kembali.” Ucapnya dengan senyum kemenangan yang semakin membuatku muak.
“ Baguslah, aku tidak perlu membelikanmu eskrim pagi ini! Kau pikir ini jam berapa? Seenaknya saja meminta eskrim dipagi buta begini!” tambahnya lagi yang sukses membuat mulutku menganga lebar.
“Tidak usah membuat banyak alasan! Aku tau, kau itu pelit! Aku juga tidak akan memintamu membelikanku eskrim. Kau pikir aku tidak mampu untuk membeli eskrim sendiri?” Omelku panjang lebar.
“dan lagi Choi Min Woo. Ini sudah jam sembilan dan kau bilang ini pagi buta? Kurasa kau masih tidur!” semburku lagi.
“ya! Berapa usiamu? Berani sekali kau menyebut namaku seperti itu tanpa menggunakan ‘Oppa’!” Pekiknya tak terima.
“Arraseo Ahjussi, cepat pergi! Perpustakaanya tak akan bukan jika kuncinya masih berada ditanganku!” ucapku ketus.
“aissh~ kau memang benar-benar menyebalkan! Tipe yeoja yang akan sulit mendapatkan teman kencan!” Ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya. Dia buru-buru menoleh kearahku, menyadari arah pembicaraannya. Tapi aku tidak ingin memperkeruh suasana hatiku.
“kau pikir berapa usiaku sampai aku harus repot-repot mencari teman kencan? Kau tak pernah khawatir dengan dirimu sendiri? Diusia begini tua kau pun tidak memiliki teman kencan!” ucapku dengan nada kemenangan dan seringaian licik. Aku melihatnya, Min Woo menganga lebar.
“jangan membuka mulutmu lebar-lebar tuan, kau terlihat bodoh dengan wajah seperti itu dan itu akan semakin menjatuhkan harga pasaranmu. Dan mungkin saja kau benar-benar akan kesulitan untuk menemukan teman kencan.” Tambahku lagi yang segera kususul dengan gelegar tawa yang membahana memenuhi ruangan sempit mobil Min Woo.
“Yak! Choi Dong Kyo! Kau sudah bosan hidup, huh?”
000ooo000
Dan entah untuk alasan apa, tapi sepertinya dia telah kembali kedalam hidupku lagi. Enam bulan bukanlah waktu yang singkat untuk menghapuskan ingatanmu tentang orang yang sangat kau cintai. Ah tidak, sepertinya aku hanya tergila-gila padanya. Nyatanya kini aku sudah tidak punya cinta barang setitikpun untuk kuberikan padanya. Rasa itu telah mati, hilang entah kemana. Aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Mengenaskan sekali.
“Dong Kyo-ya~ ” suara itu? aku mengenalnya dengan sangat baik. Aku mengenal suara itu. Tentu saja, aku sangat merindukan suara ini.
“Eomma?” pekikku saking terkejutnya karena tidak percaya akan penglihatanku kini.
“Aku sangat rindu sekali padamu, Eomma. Saking rindunya sampai aku ingin menangis.” Ucapku mulai terisak.
“Kau harus hidup dengan baik, berbahagialah sayang~” Eomma tersenyum dengan lembut. Senyum yang sama seperti saat terakhir aku melihatnya sebelum beliau berangkat ke Jepang dan mengalami kecelakaan itu.
Aku melangkah maju, bermaksud untuk mendekati Eomma, namun semakin aku mendekat, Eomma semakin menjauh dan akhirnya hilang ditelan kabut putih.
“EOMMAAA.....!!!!” aku menjerit frustasi menggapai-gapai udara kosong didepanku. Aku sangat merndukannya, tidak bolehkah aku memeluknya walau hanya untuk beberapa saat?
“EOMMA!!!” lagi-lagi aku menjerit frustasi karena tak mendapatinya dalam jarak pandangku.
Dan disaat aku frustasi untuk menemukan sosok ibuku, sosok lain yang tak ku inginkan itu malah muncul didepanku. Sesosok pria yang tampak menggamit lengan seorang wanita dengan mesra dan mereka tersenyum meremehkanku.
“kau benar-benar menyedihkan, gadis bodoh.” Kata sang pria dengan seringai licik andalannya.
“Tidak hanya bodoh, kau juga jelek” tambah si wanita yang membuatku menggeram.
“Tentu saja, Kau benar Honey, dia itu jelek. Kau seribu kali lebih cantik dibandingkan dia,” timpal si lelaki yang membuat darahku mendidih.
“tentu saja aku lebih cantik daripada gadis menyedihkan ini, Oppa..”
“cukup.” Ucapku dengan bibir terkatup.
“kenapa? Kau tak terima dikatai jelek seperti itu, huh?” tantang pria itu.
“kau bahkan hanya gadis ingusan yang tak berguna sama sekali.”
“dengan lancangnya kau menikah denganku. Kau bahkan tak tahu bagaimana caranya untuk berciuman!”
“Oppa, kau kasihan sekali? Aku yang akan menggantikan gadis bodoh itu, kau bisa menciumku sepuas yang kau mau,” lanjut si wanita. Tangannya kini telah bergelayut manja dilengan lelaki yang menjadi suamiku itu.
Dan selanjutnya, apalagi? Tentu saja mereka melakukan adegan menjijikan itu didepan mataku, tanpa rasa canggung dan malu. Bunyi decakan lidah mereka membuatku mual dan frustasi. Ini lebih sakit daripada tamparan yang mendarat dipipimu.
Aku menjerit histeris saat mereka tak menghentikan aktivitas mereka itu,
“ARRRRRRGGGGGGHHHHHTTTTT.........”
Aku bangun terduduk dengan nafas tersengal-sengal dan wajah yang penuh dengan keringat.
“itu hanya mimpi,” ucapku linglung pada diriku sendiri, berusaha menenangkan hatiku yang tengah berkecamuk.
Aku meraba jantungku, ia berdetak dua kali lebih cepat hingga terasa sakit dan sesak. Mataku kembali memanas. Aku berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya, bermaksud menyetabilkan detak jantungku lagi. Tapi yang kudapat malah jantungku bertambah sakit dan nyeri.
000ooo000
Aku berjalan gontai menuju atap gedung apartemenku. Disini lebih baik, udaranya cukup dingin. Kuharap bisa membekukan airmataku yang sebentar lagi akan meleleh. Sudah berapa kali kubilang? Aku tidak ingin lagi meneteskan airmataku untuk pria sebrengsek dia, betapapun inginnya aku menangis.
Aku berusaha membuka mataku selebar-lebarnya, membiarkan udara malam yang dingin menampar wajahku dengan langsung sehingga perih akibat cinta yang tertangguhkan ini dapat berkurang.
Hei Choi Dong Kyo bodoh! Perih yang mana yang sedang kau bicarakan sekarang? Bahkan kau sekarang sudah tidak mempunyai hati itu merasakan perih itu lagi. Kau lucu sekali. Tidak usah berlagak sok manusiawi seperti itu, hatimu sudah mati. Ingat itu!
Kurasa pikiranku malah sedang asik berperang sendiri disana. Terserah. Aku tidak ingin terlarut memikirkannya.
“Disini kau rupanya? Aku mencarimu kemana-mana bodoh!”
Aku mendengar suara itu lagi. Suara bass pria yang tak ingin kudengar saat ini. Ia akan memergokiku tengah frustasi jika begini jadinya.
“sudah berapa lama kau tidak datang ketempat ini? Biar ku hitung, tiga bulan?” Ucap Min Woo sambil menatapku dengan tatapan yang aku sendiri tidak tahu jenis tatapan seperti apa itu.
“kau kembali memikirkannya lagi? Kau terluka lagi?” dia mulai memberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan membuat diding pertahananku jebol seketika.
“Menangislah jika kau ingin menangis. Jangan termakan janji bodohmu tiga bulan yang lalu. Kau wanita, sudah semestinya kau menangis saat tersakiti. Jangan mementingkan egomu, kasihan otakmu yang harus bekerja lebih keras hanya karna janji konyolmu itu!”
 Nada bicara Min Woo mulai meninggi, dan apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa menunduk,tak berani menatapnya. Jika kuputuskan untuk menatapnya sekarang, maka kupastikan airmataku akan tumpah seketika. Dan sepertinya malam ini dia ingin sekali melihatku menangis.
Min Woo mengulurkan tangannya kearahku, meraih daguku dan mendongakkannya secara paksa hingga pandangan kami bertemu.
“Menangislah, Dong Kyo-ya! Aku lebih tenang ketika melihatmu menangis daripada kau memendamnya dalam diam seakan semuanya baik-baik saja.” Ucap Min Woo menatapku dengan tatapan prihatin. Mataku mulai memburam. Dan kulihat ada air mata yang menngenang dipelupuk matanya.
“Menangislah Dong-ie ya! Ini perintah! Perintah dari seorang kakak kepada adik yang sangat ia cintai. Menangislah, kumohon. Buatlah dirimu lebih manusiawi!”
Aku merasakan tangannya bergetar dan sesaat kemudian dia menarikku kedalam pelukannya. Menempatkan wajahku tepat didepan dada bidangnya yang tengah bergemuruh. Min Woo menangis untuk pertama kalinya. Apakah ini untukku?
Pelukannya semakin erat kurasakan, dia menelusupkan wajahnya diantara bahu dan leherku. Rasanya kerah piamaku sudah basah oleh airmatanya.
“Menangislah sayang, menangislah. Aku mencintaimu.” ucapnya parau.
Entah mulai kapan, tapi akhirnya akupun juga menangis dalam dekapan hangatnya. Aku menangis menyadari kebodohanku, pria ini benar-benar mencintaiku, dan aku tidak bisa membalasnya. Aku gadis yang jahat. Dan aku kini menangis dipelukannya. Menangisi nasib kami.
Seharusnya aku bisa menjadi wanita yang paling bahagia dimuka bumi ini jika saja mempunyai suami dengan cinta sebesar yang dimiliki oleh pria yang tengah memelukku kini. Tapi nyatanya semua itu tak pernah terjadi, aku adalah seorang wanita yang telah menikah dan menjadi hak milik pria lain, bukan pria yang tengah memelukku ini.
000ooo000
“Jadi ini yang selama ini kau lakukan di New York?” suara dingin seorang pria seolah menusuk ruang dengarku.
Aku segera melepaskan pelukan hangat Min Woo dan menoleh kebelakang, mendapati Seung Joon berdiri disana dengan wajah menahan amarah.
Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, dia langsung menyeretku, menjauh dari Min Woo. Aku menatap Min Woo antara merasa bersalah dan meminta tolong, namun dia hanya tersenyum tipis sambil mengangguk pelan seakan mengatakan ‘ikutlah dengannya’.
Aku tersaruk-saruk dalam usahaku menuruni anak tangga yang menghubungkan atap gedung ini dengan bagian dalam gedung. Ditambah cengkraman tangan Seung Joon disekitar pergelangan tanganku yang kuat sekali-terbukti dari buku-buku jarinya yang memutih- membuatku tak mempunyai celah untuk bergerak sedikit lebih bebas.
Aku baru menyadari tanganku sudah kebas dan mati rasa karena tidak ada darah yang mengalir kebagian itu, telapak tanganku sudah terlihat memucat dan dingin. Kupastikan kalau dia mencengkram dibagian leherku, tentu  aku hanya akan tinggal nama saja.
Dia melepaskan pegangan tanganya ketika berhasil menghempaskanku kekursi penumpang, disamping kursi kemudi. Dan rasanya aliran darahku berlomba untuk segera mengisi ruang yang tak teraliri darah tadi hingga membuatku merasa pegal dan kesemutan hebat dibagian itu.
Kulihat dia berjalan memutar dan memasuki mobil dan duduk disebelahku dengan nafas memburu dan pendek-pendek menandakan dia sedang menahan emosinya dengan susah payah.
Aku tentu saja tak berani menatapnya. Melihat pria itu membuat lukaku semakin menganga dalam, dan aku tidak mau itu terjadi. Aku merasa pipiku masih basah akibat acara menangisku tadi bersama Min Woo diatap gedung. Dengan sisa-sisa kekuatan yang masih kumiliki aku menghapusnya dengan wajah tertunduk dalam.
Kulihat dia kembali mendekat kearahku, aku segera merapatkan diriku pada pintu mobil pria ini, tentu saja aku waspada akan setiap gerak-gerik pria ini. Dia mengarahkan tangannya kesebelah dalam pinggangku dan menarik sesuatu keluar dari sana. Dia menarik sabuk pengaman itu dan memasangkannya pada diriku dalam diam. Aku hanya bisa menahan nafas saat dia melakukan semua itu. bahkan disaat seperti ini pun jantungku tidak mau diajak bekerjasama. Diluar kuasaku, dia bekerja tiga kali lebih cepat, memukul-mukul, berlomba memompa darah keseluruh bagian tubuhku.
Kurasa dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sangat tinggi. Dia beberapa kali myerobot jalan, dan aku mendengar makian dari beberapa orang dalam bahasa inggris yang terasa kabur ditelingaku, hampir lebih mirip dengan dengungan sebenarnya.
Aku hanya mampu menutup mataku erat dan berdoa dalam hati agar aku tetap selamat dan nyawaku masih tertempel dengan baik pada tubuhku, setidaknya sampai besok malam, saat aku sudah selesai memberikan surat-surat penting pada pihak universitas. Bodoh, bahkan disaat tegang seperti ini aku masih sempat memikirkan kuliahku. Aku berada diantara hidup dan mati mengingat pria ini tidak cukup pandai dalam hal mengemudikan mobil.
Aku tidak tahu seberapa jauh aku telah meninggalkan apartemenku. Aku membuka mataku perlahan saat merasakan mobil ini sudah berjalan diantara jalan berbatu dan lajunya sudah jauh lebih pelan daripada yang tadi. Aku melihat sebuah bangunan yang hampir mirip dengan bungalau terpampang jelas didepan mataku. Apa yang sebenarnya pria ini rencanakan?
TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar